• Beranda
  • Karya-karya
  • Islam Rahmatan lil A'lamin
  • Dikatakan bahwa ketika manusia tidak mampu menerangkan dan menafsirkan sejumlah fenomena alam, ia menciptakan konsep agama. Lalu, apakah kemajuan peradaban menghapus kebutuhan manusia akan agama?

Dikatakan bahwa ketika manusia tidak mampu menerangkan dan menafsirkan sejumlah fenomena alam, ia menciptakan konsep agama. Lalu, apakah kemajuan peradaban menghapus kebutuhan manusia akan agama?

Para musuh agama menyatakan bahwa sejumlah konsep keagamaan dibuat oleh manusia sebagai hasil dari ketidakmampuan dan ketidakberdayaannya. Kesimpulan pernyataan mereka adalah sebagai berikut.

Sejumlah peristiwa alam tidak kita ketahui hakikatnya dan tidak mampu kita tjelaskan dengan berbagai hukum fisika dan kimia. Untuk memecahkan kerumitan itu, sebagaimana dilakukan pada masa dahulu, manusia mensibahkan berbagai kejadian itu kepada Sang Pencipta. Ia juga menisbahkan kesucian kepada sejumlah hewan yang memberikan manfaat kepadanya. Selanjutnya, hal ini berkembang hingga akhirnya ia melekatkan sifat tuhan kepada hewan itu. Sungai Gangga yang dianggap suci oleh bangsa India, sungai Nil yang dianggap suci oleh bangsa Mesir, serta sikap kaum Hindu yang memuliakan sapi, semua itu mengacu kepada manfaatnya bagi manusia.

Sikap manusia terhadap rasa takut juga tidak berbeda. Rasa takut yang besar terhadap sesuatu mendorong manusia untuk mengultuskannya agar ia merasa aman dari sesuatu itu. Pada beberapa agama terdapat dua tuhan: tuhan kebaikan dan tuhan keburukan. Dengan kata lain, rasa cinta dan rasa takut terbagi di antara dua tuhan tersebut. Konsep neraka dan surga pun bersumber dari prinsip itu. Agama pada dasarnya adalah pelarian dan hiburan bagi kaum borjuis. Ia adalah rekaan para tokoh agama, candu yang membius masyarakat, dan seterusnya.

Demikianlah anggapan dan penyataan mereka. Lalu, apakah agama, seperti yang mereka katakan, adalah memang rekaan yang dibuat untuk menerangkan berbagai persoalan rumit atau untuk menjadi pelarian dan hiburan?

Tidak sama sekali. Al-dîn (agama) adalah kosakata Arab yang mengandung sejumlah makna, antara lain ketaatan, balasan, atau jalan. Dalam definisi agama, ia berarti jalan yang dii dalamnya ada ketaatan kepada Allah serta balasan bagi yang taat dan hukuman bagi yang membangkang.

Adapun dari sudut syariat, al-dîn (agama) adalah ketetapan Tuhan yang mengantar kaum yang berakal lewat pilihan mereka yang terpuji menuju kebaikan.[1] Agama memberi kehendak apa yang menjadi haknya tanpa melumpuhkannya. Jalan yang diarahkan agama adalah jalan menuju kebaikan mutlak, bukan kebaikan menurut fulan atau fulan melainkan kebaikan hakiki itu sendiri. Agama memberikan arahan tersebut pertama-tama dari sisi akidah. Dengan akalnya, manusia bisa sampai kepada eksistensi Sang Pencipta alam ini. Namun, iman yang benar dan dalam tingkat yakin muncul setelah ia mendengar suara kenabian yang menggema. Suara itu memantul pada nuraninya yang tercipta dalam kondisi siap merespon suara yang menyebut Allah. Selanjutnya, ketika Nabi saw. datang, beliau datang dengan dilengkapi berbagai dalil yang membuktikan bahwa dirinya adalah utusan Allah Swt. Ketika Nabi saw. telah diutus dengan disertai kitab suci yang tetap menjadi mukjizat hingga Hari Kiamat di samping mukjizat-mukjizat lainnya, apakah sesudah itu semua masih ada celah untuk meragukannya? Ketika itu manusia menjadi tahu bagaimana cara beriman kepada akhirat, takdir, dan perkara lain yang harus diimani sesuai dengan penjelasan dan penerangan Nabi saw. tentang hal-hal samar dari segala perkara yang harus diimani itu.

Ibadah menjaga keimanan ini agar tetap cemerlang di dalam hati sehingga tidak pudar, tidak lenyap, dan tidak lapuk. Iman tanpa ibadah akan kehilangan cahaya, kemilau, kerinduan, dan kecintaannya hingga seseorang hanya bisa berbangga dengan para tokoh pendahulu mereka yang telah dikubur di bawah tanah. Ia Cuma menyebut-nyebut sejarah hidup mereka sebagai sosok besar dan ulama saleh. Tentu saja menyebut kebaikan mereka adalah sesuatu yang baik, terutama saat sekarang ini ketika banyak celaan ditujukan kepada para pendahulu kita. Namun, itu tidak cukup dan tidak menjamin keimanan ini akan konsisten dan tetap.

Salat lima waktu yang di dalamnya kita berusaha untuk berdiri di hadapan Allah Swt. akan memperbarui iman kita serta dan menguatkan ikatan kita dengan Allah Swt. Namun, dengan syarat bahwa ketika membaca ayat-ayat Al-Quran dan tasbih di setiap rukun salat, kita meresapi dan menghayatinya. Apabila salat kita jatuh menjadi rutinitas dan kebiasaan belaka sehingga salat kita kehilangan ruhnya, salat kita tidak akan bermakna. Salat kita seperti itu tak lain sekadar menggugurkan kewajiban tanpa kita mendapatkan limpahan karunia di dalamnya.

Karena itu, ketika salah seorang tokoh spiritual suatu saat dalam sujudnya sampai pada kondisi merasakan nikmatnya salat, ia berkata, “Andai saja aku bisa salat seperti salat itu lagi.” Ia menambahkan, “Salat para sahabat seluruhnya seperti itu.” Setiap rukunnya membawakan kepada mereka risalah baru dari Allah Swt. Rasa hambar dan rasa biasa-biasa saja tidak terdapat dalam salat mereka. Ibadah mereka lainnya juga terwujud dalam kondisi spiritual yang sama. Karena itu, setiap orang yang berhaji, menunaikan zakat, berpuasa, atau melakukan amar makruf dan nahi mungkar haruslah menyerap kekuatan rohani yang mendorong, menggerakkan, dan menguatkan imannya.

Sisi lain agama adalah muamalat. Aktivitas ekonomi seorang mukmin harus ditata sesuai dengan rida Allah Swt. Dengan kata lain, Al-Quran dan sunah harus menjadi ukuran dalam menetapkan prinsip dan landasan bisnisnya. Hal ini akan menjadi kekuatan yang menunjang keimanan, karena komitmen terhadap prinsip ini terwujud dengan mengendalikan nafsu dan segala kecenderungannya serta dengan tunduk kepada kehendak dan semua perintah Allah Swt.

Misalkan seorang mukmin ingin menjual dagangan tertentu. Ia harus menjelaskan cacat yang terdapat pada dagangannya. Ia menyadari kalau cacatnya disebutkan, labanya akan berkurang dan ia mungkin akan merugi. Meskipun demikian, hatinya merasa lapang karena ia telah taat kepada Allah Swt. Ketika ia berdiri di hadapan Tuhan dalam salat, kelapangan hati yang dirasakannya itu akan menjadi faktor positif dalam meraih limpahan karunia spiritual dalam salatnya. Demikianlah imannya akan terus baru dan makin bersinar. Itulah wasilah (sarana) yang mengantarkan kita menuju rida-Nya.

Allah Swt. memerintahkan kita untuk mencari sarana guna sampai kepada-Nya. Nabi saw. menegaskan pentingnya hal tersebut ketika bercerita tentang tiga orang yang terkurung di dalam gua. Mereka menyebutkan amal saleh mereka sebagai sarana untuk bisa keluar dari gua. Di antara mereka ada yang berbakti kepada kedua orangtua, ada yang menjaga kehormatan diri dalam keadaan sulit sekalipun, serta ada yang memelihara hak dengan sekuat tenaga. Mereka bermunajat kepada Allah agar menerima amal saleh mereka itu sebagai sarana untuk bisa keluar. Ternyata Allah memang menyelamatkan mereka. Batu besar yang menutup mulut gua sedikit demi sedikit bergeser hingga akhirnya mereka keluar dengan selamat.[2] Bagi seorang muslim, sangatlah penting meneladani akhlak Rasul saw. sekuat tenaga serta mengikuti sikap dan perilaku beliau dalam segala hal, baik dalam hal makan, minum, bangun, duduk maupun tidur.

Apabila Allah Swt. telah mengharamkan riba, kita harus menjauhinya walaupun mereka memberi kita seribu kali lipat. Kita harus melakukan hal yang sama terhadap semua dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, karena pada Hari Kiamat dosa akan kembali kepada kita sebagai api yang menyala-nyala.

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa agama bersifat menyeluruh dan sempurna, tidak parsial dan tidak terpisah-pisah. Dengan kata lain, apa yang terpisah-pisah bukanlah agama. Agama tak ubahnya sebuah pohon besar. Akidah adalah akarnya, ibadah adalah ranting dan dahannya, muamalat adalah bunganya, hukuman adalah penjaganya, serta wirid dan zikir adalah makanannya, baik yang masuk dari bawah maupun dari atas. Agama yang sempurna ini berasal dari Allah Swt. dan disampaikan oleh Nabi saw.

Naluri setiap manusia mungkin mengarah kepada Tuhan untuk menerima ruh agama secara langsung dari-Nya tanpa perantara. Namun, karena ruh kebanyakan orang tidak bisa sampai kepada tingkat kesucian yang dituntut, Allah Swt. memilih di antara hamba-hambanya sejumlah nabi: “Allah memilih para utusan dari kalangan malaikat maupun dari kalangan manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”[3]

Allah Swt. memberikan tugas risalah kepada para hamba-Nya yang Dia kehendaki, baik dari kalangan malaikat maupun manusia. Di antara para malaikat, yang jumlah mereka hanya diketahui oleh Allah serta berada dalam kondisi rukuk, sujud, dan bertasbih sejak diciptakan, Dia memilih Jibril untuk menyampaikan risalah-Nya kepada Rasul saw. Selama 23 tahun, Jibril a.s. melaksanakan tugas menyampaikan wahyu kepada Rasul saw. Nabi saw. sendiri memerhatikan Jibril dengan segenap raganya disertai penghormatan penuh. Sepanjang tahun-tahun tersebut, terjalin persahabatan yang hangat antara Nabi saw. dan Jibril a.s. Ketika Jibril a.s. mengunjungi beliau untuk terakhir kalinya, Rasul saw. menangis. Allah telah memilih mereka untuk menyampaikan risalah-Nya.

Pemilihan nabi-nabi lain juga berlangsung secara sama dengan memilih orang terbaik dan paling siap untuk menyampaikan risalah. Mereka semua adalah emas murni. Sebagaimana Rasul saw. adalah pilihan, para sahabat yang telah belajar kepada beliau pun orang-orang pilihan. Lewat rantai emas inilah, agama ini sampai kepada kita.

Sebagaimana Nabi saw. menghadapi gangguan dalam menyampaikan dakwah, para nabi lain juga menghadapi penganiayaan dan gangguan. Mereka harus menghadapi segala macam kesulitan. Mereka tidak berdakwah untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Bahkan, kalau Rasul saw. meninggalkan dakwahnya, tentu beliau sudah menjadi orang kaya, mendapatkan berbagai kenikmatan dunia yang diinginkan manusia, menikah dengan wanita tercantik, serta menjadi raja Mekah. Namun, apa nilai semua ini jika dibandingkan dengan kenabian?

Beliau telah dinaikkan ke langit. Bintang-gemintang bertebaran seperti butiran pasir di bawah kaki beliau saat beliau sedang naik menuju Tuhan. Setelah di sana beliau menyaksikan berbagai keindahan yang tidak pernah disaksikan satu pun manusia sebelumnya serta tidak akan pernah disaksikan oleh siapa pun, beliau kembali kepada umatnya guna meninggikan dan memuliakan derajat mereka. Manusia manakah yang rela meninggalkan tempat-tempat itusesudah ia langsung menyaksikan segala keindahan dan merasakan kedekatan dengan-Nya? Ya, beliau tetap kembali. Ke mana? Ke dunia, tempat orang-orang telah menebar duri di sepanjang jalannya, melemparkan kotoran kepadanya, serta melemparinya dengan batu hingga kedua kaki beliau berlumuran darah… Ke kota tempat beliau mendapatkan penghinaan keji. Jadi, tidak ada kepentingan pribadi atau rasa takut saat menghadapi berbagai penderitaan dalam berdakwah dan menyampaikan risalah. Manusia yang hatinya tidak tertawan oleh pemandangan surga dan justru memilih kembali kepada umatnya, tidak mungkin seorang oportunis.

Allah Swt. tidak butuh apa-apa. Dia tidak membutuhkan ibadah kita. Sebaliknya, kitalah yang butuh beribadah kepada-Nya. Agar manusia yang Dia pilih untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi di antara sekian banyak makhluk lain dapat hidup dengan seimbang dan nyaman, Dia memerintahkannya untuk hidup dengan cara yang digariskan Al-Quran. Dengan kata lain, Dia menganugerahkan dan mempersembahkan kepada kita sebuah pedoman hidup yang terang bernama agama karena ketidakmampuan kita dalam mengatur diri kita secara benar. Agar kita tidak tersesat di jalan yang menyimpang dan keliru, Dia memerintahkan kita untuk menata diri kita sesuai dengan ajaran dan ukuran yang Dia tetapkan sehingga kita bisa mempergunakan seluruh potensi diri kita untuk naik ke atas.

Ya. Kita membutuhkan agama. Seandainya manusia mampu mengetahui kebutuhan hakikinya dan menyadari bahwa ia diciptakan tidak lain untuk mendapatkan kebahagiaan abadi, serta seandainya ia mampu mempergunakan dan mengembangkan seluruh anugerah dan potensinya, tentu ia akan berdoa semacam ini meski dengan bahasa berbeda-beda: “Wahai Tuhan, kirimkanlah kepada kami sebuah sistem dari-Mu agar kami bisa mengatur diri kami serta menjaga diri kami dari kekeliruan dan jalan yang salah. Selamatkanlah kami agar tidak tersesat di antara sekian jalan terjal dan berkelok yang buntu.”

Bahkan, para tokoh filosof dan para intelektual meniti jalan dengan terhuyung-huyung dan tidak pernah mampu mencapai hakikat. Adapun orang awam di antara kita yang mengikuti jejak Rasul saw. melangkahkan kakinya tidak dalam kehampaan, tetapi ia hidup dalam setiap fase kehidupannya sebagai manusia yang mengenal dirinya dan mengetahui hak-hak orang lain. Itu karena ia mencari rida Allah dan meneladani Rasulullah saw. yang merupakan teladan utama dari-Nya. Karena itu, ia mempergunakan setiap detik umurnya sebagai benih yang menumbuhkan tujuh bulir.

Agama bukanlah ciptaan akal manusia sebagai respon atas segala tuntutannya. Tampilan agama yang tampak begitu bersumber dari keberadaannya sebagai sebuah sistem fitri yang sesuai dengan tabiat manusia dan sebagai perasaan yang tertanam dalam fitrah manusia sejak awal. Manusia diciptakan dengan tabiat membutuhkan agama. Hanya dengan agama, manusia mampu menjangkau hakikat dan kebenaran dalam akidah dan muamalat. Hanya dengan agama, manusia menjadi layak masuk surga. Dalam wadah agama, sedikit demi sedikit manusia menjadi matang hingga akhirnya ia dikenali, dituntun, dan dimasukkan oleh Rasul saw. ke dalam barisan umatnya di bawah panji kemuliaan pada Hari Kiamat nanti.

Ketika ditanya bagaimana beliau dapat mengenali umatnya pada Hari Kebangkitan yang agung, Rasul saw. menjawab, “Aku pasti mengenali setiap orang dari umatku pada Hari Kiamat.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana engkau mengenali mereka, wahai Rasulullah, di tengahtengah makhluk yang demikian banyak?” Beliau menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika seseorang memiliki kuda putih yang berada di antara sekian banyak kuda hitam, bukankah ia mengenalinya?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Mereka akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan putih ceria karena bekas wudu.”[4] Kita perlu dikenali demikian. Kita membutuhkan agama dan aroma wanginya yang mengembuskan kehidupan.

Agama datang dengan membawa sendi-sendi positif yang mengatur kehidupan secara sempurna. Pandangan yang melihat agama sebagai sesuatu yang cacat adalah pandangan sempit. Orang-orang yang berusaha memisahkan agama dari kehidupan dan meletakkannya di atas rak, suatu saat akan menyadari kejahatan historis yang mereka lakukan dan akan menyesal. Kesalahan dan kejahatan semacam ini terjadi di banyak negara, baik di Timur maupun di Barat, dan telah diakui. Agama adalah ruh kehidupan dan tidak seorang pun bisa menyangkalnya.

Agama memiliki pokok dan cabang. Pokok-pokok agama tidak tersentuh oleh perubahan apa pun. Tidak ada perbedaan antara agama kita dan agama Adam a.s. dalam hal pokok dan prinsip utamanya, karena prinsip-prinsip akidah sama pada seluruh agama samawi. Pokok-pokok agama yang sama juga berlaku bagi malaikat. Artinya, seluruh malaikat mengimani apa yang kita imani. Mereka beriman kepada Allah, malaikat, kitab suci, rasul, takdir, dan kebangkitan setelah kematian. Perbedaan hanya pada tingkat dan derajat keimanan.

Hal yang sama juga berlaku dalam hal ibadah. Tidak satu pun agama samawi yang benar datang tanpa mewajibkan para pengikutnya untuk melaksanakan ibadah. Cara melaksanakannya bisa jadi berbeda sesuai dengan kondisi masyarakat dan zamannya, karena Allah Swt. menetapkan untuk setiap umat bentuk ibadah yang sesuai dengan tabiat, kondisi, dan zamannya. Ya. Bentuk ibadah bisa berbeda, namun keberadaan ibadah sebagai pokok yang permanen tidak akan berubah.

Kita ambil keyakinan akan akhirat sebagai contoh. Ternyata keyakinan ini terdapat dalam seluruh agama samawi. Akhirat adalah salah satu perkara penting dijelaskan setiap nabi kepada umatnya secara rinci atau secara garis besar saja. Seandainya keyakinan yang mendorong manusia kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan ini tidak ada, tentu lenyaplah ciri agama yang membedakannya dari sistem ekonomi atau sistem sosial.

Seandainya tidak ada iman kepada akhirat, tentu ibadah, penderitaan yang dihadapi manusia di jalan Allah, pengorbanan yang dipersembahkannya, serta akidah yang diyakininya menjadi tidak bermanfaat. Ia pun akan membuang sejumlah kebaikan yang melekat pada dirinya. Jadi, iman kepada akhiratlah yang mendorong kita untuk konsisten melakukan kebaikan, sebab kita yakin bahwa jika kita melakukan kebaikan atau keburukan meskipun seberat biji atom, pasti kita akan melihat balasannya di sana.

Selanjutnya, dengan segala kesabaran, kita pun menanti saat-saat ketika kita bisa melihat indahnya Tuhan. Kesempatan melihat Tuhan tidaklah tergantikan, bahkan oleh seluruh kehidupan surga sekalipun. Mendambakan karunia agung itu dengan kerinduan yang membara dalam diri kita, ruh kita menjadi bersinar sekaligus mendorong kita untuk meniti jalan lurus yang mengantar kita menuju pertemuan tersebut.

Dengan perintah Allah Swt., para nabi menghapus sejumlah syariat terdahulu terkait dengan hal-hal cabang sekaligus membatalkan hukum-hukumnya. Begitulah sunatullah berlaku. Hal ini terkait dengan tingkat majunya kesadaran dan kematangan manusia. Umat manusia pada masa Adam a.s. ibarat hidup dalam periode kanak-kanak, sedangkan Nabi saw. laksana mentari zaman. Artinya, umat manusia pada masa beliau telah mencapai periode matang dan sempurna. Kebenaran mulai terpisah dari kebatilan secara jelas. Karena itu, mereka berpegang teguh pada kebenaran yang datang meskipun sebelumnya berpegang kuat pada kebatilan.

Dengan segala hikmah-Nya yang luas, Allah Swt. membuat cabang-cabang agama sesuai dengan periode zaman. Karena itu, kita melihat ratusan kemaslahatan dan hikmah dalam berbagai bentuk ibadah agama ini. Bentuk ibadah agama ini sesuai dengan masyarakat yang telah matang dan sadar, sementara agama-agama lain telah mengalami penyimpangan dan perubahan serta telah kehilangan identitas awalnya. Kalaupun mereka memelihara keasliannya, agama-agama itu tentu tidak sesuai dengan masa sekarang, sebab Allah Swt. telah menetapkan agama yang diridai-Nya, yaitu Islam.

Kesimpulannya, agama sama sekali bukan hasil dari ketakutan manusia terhadap bencana alam, seperti banjir dan petir. Agama juga bukan sistem sosial atau ekonomi yang bertujuan menyelesaikan berbagai problem sosial dan ekonomi yang dialami manusia guna mengantarkannya kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama pun bukan untuk membedakan tabiat manusia seperti anggapan Renan dan Rosseau. Namun, agama adalah sejumlah hukum Ilahi yang menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dan ketenteraman kita terkait dengan agama. Dengan agama, kita akan selalu terikat dengan hukum. Dengannya pula, kita bisa sampai ke surga dan melihat indahnya Allah Swt. Betapapun majunya, peradaban tidak mampu menjamin kebahagiaan di dunia sekalipun. Jadi, bagaimana mungkin peradaban dapat menggantikan posisi agama?!!

[1] Al-Ta’ârîf, h. 344.
[2] H.R. Bukhari dan Muslim.
[3] Q.S. al-Hajj: 75.
[4] H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.