Jausyan

Tanya: Terdapat perbedaan pandangan di antara kaum muslimin seputar doa Jausyan. Ketika beberapa kaum muslimin memuliakannya, sebagiannya lagi tidak memperhatikan, bahkan mungkin tidak tahu apa itu doa Jausyan. Oleh karena itu, berkenankah Anda memberi kami pencerahan seputar Jausyan?

Jawab: Terdapat banyak pendapat serta pandangan terkait doa Jausyan. Doa ini lebih banyak diriwayatkan dalam buku-buku rujukan kaum syiah sehingga menyebabkan kaum ahlussunnah bersikap dingin terhadapnya. Pandangan kita terhadap doa jausyan sedikit mengarah pada keistimewaannya.  Untuk itu, daripada menjelaskan pandangan pihak lain, disini kami ingin menyampaikan pendapat kami sendiri:

Jausyan adalah doa yang dibuat dengan ikhlas

Mau dilihat dari kata atau kalimatnya di bagian manapun, akan terlihat ia meneteskan doa yang memikul keikhlasan dan ketulusan di setiap tetesannya. Oleh karena itu, tidak peduli doa jausyan ini dinisbahkan kepada siapa, hal tersebut tidak akan mengurangi keistimewaan yang dimilikinya. Disini tentu saja kita tidak bermaksud untuk mengatakan: “Tidak ada perbedaan nilai antara kata yang dinisbahkan kepada Baginda Nabi dengan kata yang dinisbahkan kepada manusia lainnya.” Yang kami maksudkan adalah: karakteristik paling sederhana yang dimiliki Jausyan yaitu ia minimal adalah sebuah kalimat doa. Andai kata ia tidak memiliki keistimewaan lainnya, posisi Jausyan yang merupakan kumpulan kalimat doa saja pun sudah cukup menjadi sebab untuk meletakkannya sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai mulia. Padahal masih ada keistimewaan lain yang dimilikinya. Keistimewaan lainnya akan diisyaratkan dalam penjelasan berikutnya dalam tulisan ini. Jika demikian, mengkritik doa jausyan hanya karena faktor cacat yang dimiliki sanadnya saja tidak bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang adil. 

Kata-kata Baginda Nabi shallallahu alayhi wasallam memiliki keutamaan dan keunggulan dibandingkan dengan kata-kata manusia lainnya

Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa disembunyikan bahwasanya gagasan dan kata-kata yang berhubungan dengan Nabi shallallahu alayhi wasallam jika dipilih dan dipisahkan akan tetap dapat dikenali dari kefasihannya. Setiap kalimat dalam doa Jausyan dari awal hingga akhir memiliki gaya yang dihiasi oleh ungkapan-ungkapan kenabian. Oleh sebab itu, menggunakan ungkapan yang digunakan Nabi SAW dalam merangkai kalimat doa selain sangat penting juga dapat menjadikannya sebagai doa yang makbul. Namun, sekali lagi ini hanya masalah memilih. Karena setiap manusia dapat memanjatkan doa dengan bahasa apapun, asalkan di luar shalat. Bahasa doa tidak akan mengurangi keasliannya sebagai sebuah doa. Allah Subhanahu wa ta’ala memahami semua bahasa. Selain itu, syarat dari dikabulkannya doa hanyalah tulus dan ikhlas pada saat memanjatkannya. Bukankah perbedaan warna dan bahasa merupakan tanda-tanda yang menunjukkanNya sebagai Zat Yang Maha Kuasa? 

Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, kitab-kitab rujukan Sunni tidak memberikan tempat kepada Jausyan

Kita hanya dapat menemukan beberapa bait dari doa Jausyan di kitab Mustadrak[1] karangan Imam Hakim.[2] Di luar itu, sampai saat ini aku belum menemukan penjelasan mengenai doa Jausyan di kitab Sunni lainnya. Akan tetapi, hal ini bersumber dari sikap bersama yang disandarkan semata-mata kepada sanadnya, dan hal tersebut tidak memiliki bobot untuk mempengaruhi secara negatif nilai dari doa Jausyan. Pada kenyataannya terdapat banyak hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dengan perbedaan yang amat sedikit, bahkan beberapa di antaranya dalam bentuk yang sama, juga diriwayatkan oleh Kulaini dalam kitab al-Kafi-nya. Biarpun demikian, para alim ahlussunnah tidak meriwayatkan satu riwayatpun dari Kulaini. Padahal beberapa hadits yang terdapat di al-Kafi, berdasarkan fakta bahwasanya hadits tersebut juga diriwayatkan dalam karya Imam Bukhari dan Muslim, merupakan hadits-hadits yang tidak memiliki cacat, baik secara sanad maupun matan. Sayangnya hadits-hadits yang ditulis dalam al-Kafi lebih banyak diriwayatkan dari jalur imam-imam Syiah. Oleh sebab itu, kaum Sunni sedari awal langsung meragukan hadits-hadits tersebut.

Demikian juga dengan doa Jausyan. Andai kata doa Jausyan tidak diriwayatkan dari jalur Imam Syiah, saya rasa dunia Sunni akan menerima dan memuliakannya. Sayangnya, doa Jausyan mengalami ‘ketidakberuntungan’ dari jalur sanad sehingga menyebabkan banyak kaum muslimin yang tidak berkesempatan mereguk iklim doa Jausyan yang bercahaya, penuh berkah, dan anugerah.

Saat ini kami tidak memiliki kemampuan untuk mengelakkannya dari ketidakberuntungan tersebut. Walaupun bukan tidak mungkin kita mampu mengikis keraguan yang telah bertahan selama berabad-abad, hal tersebut tetap sangat sulit untuk dilakukan.  

Terkadang kriteria hadits tidak bisa digunakan

Penerimaan hadits dari Baginda Nabi secara kasyaf oleh para waliyullah tidaklah sedikit. Imam Rabbani secara makna berkata:”Ketika saya melihat riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa Muawwizatain bukanlah bagian dari Al Quran, aku mulai tidak membaca surat-surat tersebut dalam shalat fardhuku. Namun ketika aku telah menerima peringatan dari Baginda Nabi bahwasanya surat-surat tersebut adalah bagian dari Al Quran, saat itu aku mulai membaca surat-surat tersebut dalam shalat fardhuku.”

Hal lain yang juga diriwayatkan dengan jalan ini diantaranya adalah mengenai doa apa yang patut kita baca sebagai doa qunut, penerimaan sebuah surat bahwasanya ia merupakan bagian dari Al Quran,  maka ia bisa diterima sebagai dalil terkait hal khusus seperti yang kami sampaikan sebelumnya. Sekali lagi contoh dari Imam Rabbani:”Saya dalam beberapa pembahasan lebih condong pada Imam Syafii. Akan tetapi terdapat bisikan yang menyampaikan kepadaku bahwasanya Imam Abu Hanifah lebih merepresentasikan tugas kenabian. Oleh karenanya akupun mengikuti jalannya Imam Abu Hanifah. “

Kondisi ini tentu saja memerlukan kriteria dan syarat tertentu. Jika tidak, maka semua orang akan mengatakan bahwa dirinya mendapatkan pesan secara kasyaf dan sebagai akibatnya kita akan dikelilingi oleh informasi kasyaf palsu. Namun, mengkategorikan informasi kasyaf yang diterima para tokoh besar sebagai informasi palsu adalah kesalahan yang amat besar. Jika para tokoh besar tersebut mengatakan: “Saya menerimanya secara kasyaf!” maka sungguh demikian adanya dan pasti apa yang mereka katakan itu adalah kebenaran. Akan tetapi, adalah tidak mungkin untuk menguji kebenaran informasi kasyaf ini dengan kriteria hadits yang ada. Oleh karena itu para ahli hadits tidak terlalu memberikan perhatian mereka kepadanya. Namun, tidak perhatiannya para ahli hadits kepadanya tidak lantas membuat informasi kasyaf ini berarti palsu.

Penjelasan kami ini juga berlaku untuk doa Jausyan. Oleh karena itu, secara pasti dapat kami katakan, dari segi makna Jausyan datang kepada Baginda Nabi shallallahu alayhi wasallam melalui jalur ilham atau wahyu. Kemudian salah seorang waliyullah menerima doa Jausyan dari Baginda Nabi shallallahu alayhi wasallam melalui jalur kasyaf, dan dengan demikian sampai ke tangan kita pada hari ini.

Saya berpendapat, tambahan berikut akan memberikan manfaat. Seorang ‘allamah seperti Imam Ghazali, wali besar seperti Syekh Ahmad Ziyauddin Gumusyhanawi,[3] kecemerlangan zaman seperti Bediuzzaman Said Nursi, menjadikan doa Jausyan sebagai wirid mereka. Bahkan Imam Ghazali menulis syarah tentang doa Jausyan. Harta karun yang terdapat di dalam doa Jausyan, walaupun tidak terdapat dalil ataupun bukti selain kekuatan dan kesuciannya, cukup dengan melihat bagaimana sosok-sosok agung tadi menerima dan mengamalkannya, serta bagaimana ratusan ribu orang menerima Jausyan dan membangun keterkaitan terhadapnya dengan hatinya, setidaknya penjelasan ini merupakan dalil kuat dan cukup untuk disampaikan sebagai langkah berjaga-jaga. Mengkritik doa Jausyan disebabkan cacat pada sanadnya, jika dikatakan dalam istilah yang lunak, merupakan sebuah bentuk ketidakadilan.

(Diterjemahkan dari artikel berjudul “Cevsen” Dari buku “Prizma -1”) 


[1] Secara istilah mustadrak adalah kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits yang ditetapkan Imam Bukhari dan Imam Muslim atau salah satu dari keduanya yang kebetulan tidak diriwayatkan oleh keduanya dalam kitab hadits mereka. Imam Hakim mengatakan demikian karena berpendapat bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya memenuhi kriteria yang terdapat  dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, sedangkan hadits tersebut belum tercantum dalam kitab Shahih Bukhari maupun Muslim. Imam Dzahabi berpendapat bahwa kitab Mustadraknya Imam Hakim banyak diisi oleh hadits-hadits yang memenuhi kriteria Syaikhani (Bukhari-Muslim), memenuhi syarat Imam Bukhari saja, atau memenuhi syarat Imam Muslim saja (Lihat al Naisaburi, al Mustadrak ‘ala Shahihain, 1:9).

[2] Al Hakim, al Mustadrak 1:729

[3] Dalam bahasa Turki, Şeh Ahmed Ziyaüddin Gümüşhanevi. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Mecmuat-ül Ahzab.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.