Perjanjian Allah dan Manusia

Perjanjian Allah dan Manusia

Pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan firman Allah Swt., "Allah berfirman, ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Benar, Engkau Rabb kami’" (QS al-A’râf [7]: 172).

Jawaban. Maksud dari firman Allah Swt. di atas adalah, ikatan yang berbentuk janji antara manusia dengan Allah sebagai Pencipta manusia, yang menyatakan bahwa Allah adalah Rabb mereka Yang Maha Esa (tidak berbilang). Mengenai masalah ini, minimal dapat ditinjau dari dua sisi berikut. Pertama, bagi siapakah pertanyaan itu ditujukan, dan bagaimanakah pertanyaan itu disampaikan? Yang kedua, kapankah pertanyaan itu diajukan?

Kita perlu memperhatikan masalah-masalah berikut ini. Pertanyaan tersebut diajukan kepada manusia pada saat mereka masih berada di alam ruh, belum diciptakan sebagai manusia. Adapun maksud dari mereka telah menjawab, ‚Benar, Engkau adalah Rabb kami,‛ karena mereka menyaksikan secara langsung keagungan Allah Swt. sebagai Pemilik mereka.

Pada saat manusia masih menjadi molekul atau partikel atom, maka Allah Swt. telah mengajukan pertanyaan tersebut, agar setelah menjadi manusia mereka tetap mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dan sekaligus Rabb Yang Maha Esa.

Tanya jawab di atas termasuk takdir yang bersifat paksaan dan penerimaan. Tampaknya pertanyaan dan jawaban itu tidak berbentuk pembicaraan. Oleh karena itu, sebagian dari ahli tafsir menafsirkannya sebagai pertanyaan dan jawaban yang berbentuk permisalan antara manusia dengan Allah Swt. sebagai Rabb. Sehingga nilai tanya jawab tersebut mempunyai kualitas yang sangat tinggi, berbeda dengan analogi tanya jawab yang dilakukan oleh manusia di alam dunia ini. Sebab, kalau tidak, tentunya tidak termasuk dalam sebuah ikatan perjanjian yang sangat kuat.

Sebenarnya masalah tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi tentang bagaimana adanya pertanyaan dan jawaban yang diberikan semacam itu. Sebab, Allah Swt. mempunyai beraneka ragam cara untuk melakukan apa yang Dia kehendaki.

Di samping itu, pertanyaan tersebut mengandung arti bahwa manusia dituntut untuk mengakui jika mereka telah mengadakan perjanjian yang sangat kuat antara dirinya sebagai ciptaan (manusia) dengan Allah Swt. sebagai Rabb (Pemilik manusia). Yaitu, manusia telah mengakui bahwa Allah adalah Rabb mereka yang sebenarnya. Seperti telah disebutkan melalui sebuah hadis berikut ini, “Siapa yang mengenal dirinya secara baik, maka ia telah mengenal Rabbnya.”[1]

Karena, untuk memenuhi perjanjian dengan Allah Swt. seperti itu tidaklah mudah, baik cara maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu, Allah Swt. selalu mengingatkan kepada manusia bahwa Allah telah menerima perjanjian dari manusia jika Allah adalah Rabb bagi mereka.

Sesungguhnya perjanjian semacam itu disebutkan untuk mengingatkan kepada manusia, bahwa mereka telah berjanji akan menaati Allah Swt. dan menerima Dia sebagai Sang Maha Pencipta. Dengan adanya tanya jawab yang seperti itu, maka manusia akan mengerti bahwa dirinya terwujud (ada) di alam semesta ini setelah diciptakan dan dikehendaki oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, manusia harus mengakui bahwa Sang Maha Pencipta tidak butuh sedikit pun kepada manusia. Namun, justru sebaliknya, manusia-lah sebagai hasil ciptaan yang sangat membutuhkan Sang Pencipta. Perjanjian di atas adalah semacam ijab qabul antara manusia dengan Allah Swt., bahwa mereka benar-benar telah mempercayai Allah sebagai Sang Pencipta.

Hendaknya kita mengerti pula, bahwa perjanjian antara manusia dengan Allah Swt. tidak boleh diartikan sebagai tanya jawab yang bersifat biasa. Allah Swt. memerintahkan kepada seluruh makhluk-Nya menjalankan semua perintah- Nya, dan Dia mendengar segala bentuk suara yang keluar dari makhluk-Nya, serta mengajari mereka untuk menjawab pertanyaan-Nya. Dengan redaksi yang lebih sederhana dapat disimpulkan, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada setiap makhluknya yang beraneka ragam itu untuk menaati semua perintah-Nya, sesuai dengan pernyataan pada saat diajukan kepada mereka oleh Allah di alam arwah, dan juga jawaban yang mereka berikan kepada-Nya sebagai janji setia.

Sesungguhnya Allah Swt. telah mengambil janji setia dari manusia sejak mereka masih menjadi partikel molekul dan atau masih berada di rahim sang ibu. Kita tidak bisa mengkiaskannya dengan pemikiran biasa yang serba terbatas. Sebab, manusia sangat berhubungan dengan ruh, dan alam arwah sangat berbeda dengan alam jasmani.

Sesungguhnya ruh manusia termasuk suatu hal yang berbeda dari jasad. Jika masalah ini kita bahas sekarang, maka manusia tidak dapat mengerti tentang hakikat alam ruh. Sebab, berdasarkan ilmu (Parapsikloji, bahasa Turki) --yang dimaksud adalah psikologi-penerj-- dikatakan, bahwa manusia selalu ingin mengetahui hakikat ruh, akan tetapi keinginan mereka itu tinggal keinginan semata. Karena, Allah Swt. tidak memberi mereka ilmu tentang hakikat ruh, kecuali hanya sedikit petunjuk tentangnya.

Sesungguhnya bagaimanapun juga kita tidak dapat mengerti masalah ini dengan jelas. Sebab, perjanjian itu diadakan ketika manusia masih berada di alam arwah. Oleh karena itu, pada saat ditanyakan kepada calon (bakal) manusia, ‚Bukankah aku Rabb kalian?‛ Maka mereka menjawab, ‚Benar, Engkau adalah Rabb kami.‛

Berdasarkan keterangan di atas, maka para arwah itu dipanggil di tempat diadakannya perjanjian tersebut. Pada waktu itu, seluruh ruh melihat segala sesuatu secara jelas. Sebab, tidak ada perantara dengan jasmani, hingga alam arwah berkata, ‚Benar, Engkau adalah Rabb kami.‛ Akan tetapi, karena manusia --sampai pada masa sekarang ini-- tidak mungkin bisa membahas di dalam tulisan mereka tentang ruh, dan juga dalam berbagai literasi yang ada tentang alam ruh pun tidak pernah ditemukan adanya perjanjian yang kongkrit, sebagaimana dikisahkan di dalam Al-Qur’an, maka tidak seorang pun mengetahui tentang hakikat ruh. Bahkan, profesor Kant dan Bergson, keduanya tidak menyebutkan tentang adanya perjanjian antara Allah Swt. dengan manusia ketika keduanya membahas tentang alam arwah. Kiranya, hanya kitab Al- Qur’an saja yang menyatakan adanya perjanjian di alam arwah antara manusia dengan Rabb mereka, Allah Swt..

Banyak orang yang membiasakan diri mereka untuk membahas masalah qalbu dengan menggunakan cara ini. Akan tetapi, yang dimengerti oleh mereka tidak didapati di dalam karya tulis mana pun tentang ruh. Sesungguhnya rumusrumus yang dinyatakan oleh kitab samawi (langit) mungkin memunculkan warnanya yang tersendiri. Akan tetapi, tidak akan ada yang mengerti tentang masalah ini sejernih penjelasan Al-Qur’an. Sehingga mereka mendiamkan permasalahan ini hingga sekarang.

Mari kita bahas topik yang kedua dari permasalahan ini, yaitu; bilakah perjanjian itu dilaksanakan? Perlu kami jelaskan di sini, bahwa kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang menguatkan masalah tersebut. Akan tetapi, kita dapat menyebutkan ucapan sekelompok ahli tafsir yang menafsirkan di seputar peristiwa tersebut.

Ada ulama yang menafsirkan, bahwa terjadinya perjanjian antara manusia dengan Sang Maha Pencipta itu ketika janin seseorang masih berada di dalam perut ibunya. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa perjanjian itu terjadi ketika usia seorang anak masih bayi, hingga memasuki masa akil baligh. Alhasil, setiap pendapat mempunyai cara-cara tersendiri untuk mempertahankan argumentasi mereka masing-masing.

Kalau perjanjian tersebut telah terjadi pada saat manusia berada di alam arwah, maka mungkin juga ketika itu ruhani seseorang telah terkait erat dengan jiwanya di alam yang berbeda. Mungkin juga perjanjian itu terjadi tatkala janin seseorang berada di dalam perut ibunya. Dan mungkin pula akan terjadi pada masa pertumbuhan anak ketika masih bayi hingga mengalami masa akil baligh.

Dengan kata lain, Allah Swt. mengajak manusia berbicara kemarin maupun hari ini secara bersamaaan. Dan Allah Swt. Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar pembicaraan kemarin layaknya pembicaraan hari ini. Ada kemungkinan Allah Swt. menerima janji dari manusia itu di antara masa-masa tersebut. Kami mendengar pendapat yang keluar dari sanubari kami yang justru lebih membenarkan adanya kepastian atas perjanjian tersebut, bukan pada proses dan waktu terjadinya.

Sebagaimana pula perut kita dapat mengutarakan melalui lisan yang khusus bahwa ia sedang merasakan lapar. Maka demikian pula jasmani kita dapat mengutarakan dengan lisan yang khusus pula bahwa dirinya sedang merasakan sakit. Termasuk juga sanubari kita dapat mengutarakan sesuatu yang dirasakan olehnya melalui proses yang sesuai dengan alurnya masing-masing. Misalnya, kerisauan qalbu, kesunyian dan kebahagiaannya, semua itu dapat diutarakan oleh sanubari dari relung yang paling dalam.

Sebagai kesimpulannya, bahwa qalbu kita merupakan cermin yang bersih bagi semua hakikat, sebagai perpustakaan yang sangat kaya dengan berbagai koleksi buku, sebagai daftar khusus dan tempat penyimpanan segala sesuatu yang bersifat hakiki.

[1] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam Kasyfu al-Khaffâ’, karya Imam al-‘Ajluni, Jilid 2, halaman 343.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.