• Beranda
  • Media
  • Kolom opini
  • Metode memahami dan memahamkan ajaran Rasulullah Saw. Menurut Fethullah Gülen Hoca Efendi

Metode memahami dan memahamkan ajaran Rasulullah Saw. Menurut Fethullah Gülen Hoca Efendi

Fethullah Gülen

Abstrak

Sunnah merupakan sumber hukum kedua di dalam Islam setelah Al-Qur’an. Pasca 11 September, dalam pandangan Barat, Islam identik dengan kekerasan. Eforia masyarakat negara–negara maju yang berlandaskan sekularis dan kapitalis bahkan membuat sunnah Nabi ditinggalkan oleh sebagian orang Islam dan dianggap tidak perlu karena tidak sesuai lagi dengan zaman teknologi dan informasi serta tidak mampu menjawab tantangan zaman. Fenomena ini menandakan perang dingin dalam bidang ideologi dan pemikiran terus berlangsung sehingga muncullah Fethullah Gülen sebagai sosok ulama paripurna yang berasal dari Turki.

Pada dirinya terhimpun berbagai sebutan yang menyatakan kualitas pribadinya. Selain sebagai ulama, ia juga dikenal sebagai pemikir, penulis, penyair sekaligus aktifis pendidikan yang sangat mendukung dialog antar budaya, agama, sains, demokrasi, dan spiritualitas serta mengecam segala bentuk kekerasan dan pengubahan agama menjadi ideologi politik. Fethullah Gülen menyerukan perlunya semua peradaban untuk bekerja sama alih-alih saling berbenturan dalam kutipan berikut: “Jadilah orang yang toleran sehingga hatimu meluas laksana samudera dan dibimbing oleh keimanan dan cinta kepada sesama manusia. Jangan sampai ada jiwa-jiwa yang menderita dan terabaikan yang tidak mendapatkan uluran tanganmu(Fethullah Gülen, Criteria or Lights of the Way. London: Truestar).

Penyampaian ide-idenya yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta dapat dipahami masyarakat luas menandakan bahwa sunnah akan selalu sesuai dimanapun dan kapanpun. Artikel ini akan mencari jawaban dari pertanyaan; bagaimana sebenarnya sosok Fethullah dan bagaimana metode memahami dan memahamkan ajaran Rasullah menurut Fethullah? Artikel ini akan saya akhiri dengan sebuah kesimpulan di mana argumen pokok akan ditegaskan kembali berdasarkan data-data yang dipaparkan dalam penjelasan sebelumnya.

A. Potret Keluarga, Masa Kecil, dan Pendidikan

Di kalangan pemikir Islam, Fathhullah Ghulan dikenal sebagai ulama, aktifis pendidikan, penyair, penulis, dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaannya itu tidak lain karena ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itu, ia diterima kalangan Barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itu pulalah yang membuat Fathhullah sering menghadiri dan mengadakan pertemuan yang bersifat lokal dan internasional antara para pemuka dari berbagai agama di Eropa maupun Amerika, sebagai wakil kelompok Islam.

Kapasitas keilmuan Fathullah sesungguhnya tidak lepas dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang ditempuhnya. Ia dilahirkan pada tanggal 11 November 1938 dari sebuah keluarga agamis dan sederhana dengan nama lengkap Muhammad Fathhullah Ghulan bin Ramz Afandi. Tepatnya di sebuah desa Korucuk, Provinsi Erzurum di dataran subur Anadolu Daǧlari (Pegunungan Anatolian bagian Utara). Umumnya, penduduk Anadolu dikenal dengan keislamannya. Lebih khusus lagi, penduduk provinsi Erzurum sangat terkenal dengan komitmennya kepada Islam dan kecintaannya pada Nabi Saw dimulai sejak masuknya Islam ke daerah tersebut pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan hingga hari ini.

Ayahnya, Ramz Afandi, adalah seorang tokoh agama yang dihormati karena ilmu dan budi pekertinya. Rumahnya tidak pernah sepi dari kunjungan para fuqaha’, ahli tafsir, dan ahli tasawuf yang terkemuka di kota itu. Ia juga mengemban tanggung jawab sebagai imam besar yang dibayar oleh pemerintah pada beberapa mesjid kota di Turki. Sedangkan ibunya, Rafi’ah Hanim, adalah seorang yang teguh keimanannya, ‘alim, dan komitmen dalam menjalankan ajaran Islam. Kealimannya tidak hanya untuk dirinya, akan tetapi juga dapat dirasakan oleh penduduk desa Korucuk. Ia senantiasa ikhlas mengorbankan waktu ditengah kesibukan menemani sang suami dan mengurus keluarga untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada orang-orang yang tidak mahir mengaji dan jahil terhadap ajaran Islam.

Fathullah melewati masa kecil bersama kedua orang tuanya di sebuah lingkungan yang menjaga dan menjunjung tinggi ilmu serta nilai-nilai Islam. Ditambah lagi, lingkungan ini kental dengan nilai-nilai sufistik dan pemahaman masyarakatnya masih belum terpengaruh dengan sekulerisme dan modernisme. Sebagai seorang yang memiliki kecintaan dan semangat besar dalam menuntut ilmu, ketika berumur lebih dari empat tahun, ia selalu dibimbing oleh ibunya membaca Al-Qur’an. Setiap pukul emapt pagi, ia dibangunkan oleh ibunya untuk belajar Al-Qur’an sehingga dalam waktu satu bulan Fathullah telah berhasil menamatkan membaca Al-Qur’an.

Sebelum umurnya beranjak baligh (dewasa), ia belajar bahasa Arab dan Persia dari ayahnya. Ia tertarik untuk mempelajari bahasa Arab karena itu adalah bahasa Al-Qur’an dan merupakan salah satu kunci penting untuk menyelami literatur Islam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sedangkan kemauanya belajar bahasa Farsi adalah karena ia meyakini bahwa kejayaan Islam muncul dalam beberapa abad karena sumbangsih ilmuwan hebat dari tanah Persia yang melahirkan karya-karyanya di dalam bahasa Farsi.

Selain dengan orang tuanya, pendidikan informal yang ia dapatkan adalah dari para ulama tasawuf terkemuka yang selalu mengunjungi ayahnya. Ia juga sering mendengar secara langsung dialog mereka tentang permasalahan umat yang sedang terjadi pada masa itu dan diskusi tentang solusi untuk menghadapinya.

Dalam umurnya yang masih belia, Fathhullah Ghüllan tidak ada kesempatan menempuh pendidikan formal karena kondisi politik negara dalam masa transisi. Di sekolah dasar di desa kelahirannya, ia menempuh pendidikan informal dengan rajin dan tekun mempelajari ilmu agama Islam. Ia juga mendalami ilmu yang berhubungan dengan jiwa di Takiyyah, yaitu sebuah lembaga pendidikan formal yang menekankan pada kajian hati manusia.

Sebagai seorang pemuda yang cerdas, yang bercita-cita tinggi dan kemauan yang kuat serta kepekaan terhadap permasalahan umat Islam yang dihadapi pada saat itu, berbagai ilmu pengetahuan ia pelajari demi menjadi sosok muslim yang sempurna. Ilmu yang dipelajarinya cukup banyak mulai dari fiqih, nahwu, balaghah, ushul fiqih, aqidah, dan perbandingan agama sampai dengan fisika, kimia, ilmu astronomi, dan filsafat.

Seiring berjalannya waktu, Fathhullah Ghüllan tumbuh menjadi semakin dewasa. Ia tidak pernah mengabaikan pentingnya mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan peradaban dan filsafat Timur dan Barat, sosiologi, sastra modern serta politik. Pada umurnya yang kedua puluh, ia ditunjuk untuk menjadi imam di Masjid Auj Syefreli di kota Adana. Disini ia menghabiskan waktunya selama dua setengah tahun untuk membersihkan jiwa dan meninggalkan segala bentuk kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Misalnya, ia memutuskan untuk selalu beri’tikaf di masjid dan hanya keluar untuk keperluan yang sangat mendesak.

Lalu, ia bekerja di sekolah Tahfidh Al-Qur’an di Masjid Kastanah Bazrey di kota Azmer, yang terletak di bagian Barat Turki. Selanjutnya, ia menjadi sebagai dai keliling di Turki. Ia berkeliling menyampaikan pesan-pesan Islam. Pidatonya yang logis dan menyentuh jiwa, menyebabkan ia disukai oleh penduduk Turki.

B. Situasi Politik, Sosial dan Keagamaan

Seperti yang telah dijelaskan di atas, Fathullah lahir dan dibesarkan di perkampungan Korucuk, salah satu perkampungan di wilayah Anadol, Provinsi Erzurum, Turki, pada tanggal 11 November 1938. Dengan demikian, Fathullah lahir dan dibesarkan pada masa-masa Turki berada di bawah kekuasaan Kamal At-Tartuk, karena ia terpesona dengan kemajuan Barat. Oleh karena itu, sejak awal-awal kehidupannya, Fathullah merasakan betapa tidak stabilnya situasi politik, sosial, peradaban, dan keagamaan ketika itu. Di satu pihak, untuk kemajuan Turki para pemikir Turki di bawah komando At-Tartuk harus menyusun undang-undang baru yang berkiblat kepada Barat tanpa mengindahkan kearifan lokal. Sementara di pihak lain, para ulama dan kelompok yang lama bersikeras agar tetap dipertahankan tradisi lama dan menolak semua hal-hal baru yang berasal dari Barat.[1]

Dialog antar pemuka-pemuka Turki tetap terus berlangsung untuk mewujudkan pedoman baru bagiTurki. Perdebatan untuk mewujudkan Negara Turki Baru semakin alot, misalnya masalah demokrasi di Turki; mereka kebingungan di dalam menentukan apakah di Turki hanya diakui satu partai politik atau atau Partai Politik yang berjumlah banyak? Diskusi demi diskusi telah dilakukan, namun tidak adanya suatu hasil yang nyata yang dapat diwujudkan. Pada akhirnya, kelelahanlah yang dapat dirasakan oleh para Tokoh Turki tanpa adanya sebuah hasil yang konkrit.

Di bidang peradaban, sosial dan keagamaan lahirnya kelompok yang berpegang teguh pada kemajuan Turki hanya mampu diwujudkan melalui pelestarian tradisi lama dan menggali mekanisme dari pengalaman lama. Sementara kelompok yang lain, menilai bahwa kemajuan Turki hanya mampu diwujudkan berlandaskan materi dan meniru secara menyeluruh model Budaya Barat.

Sebagai pribadi yang memiliki prinsip dan keilmuan yang kuat, Fathhullah mampu melahirkan model pemikiran yang ketiga, yaitu; menggabungkan antara khazanah lama dengan kemodernan. Ia mencetuskan ide baru dalam upaya melahirkan fondasi yang kokoh dalam bidang peradaban, sosial dan keagamaan. Ia menilai bahwa khazanah lama bukanlah penghambat bagi hal-hal yang baru. Akan tetapi bagaimana nilai-nilai yang diambil dari Barat dikorelasikan dengan khazanah lama yang sesuai dengan tuntutan zaman pada saat itu.

C. Aktivitas Keilmuan dan Karya Intelektualnya

Fathullah Ghülan termasuk salah seorang ulama yang dalam sejarah hidupnya telah meniti banyak karier dan memiliki pengaruh yang cukup luas baik di Turki maupun di luar Turki, baik formal maupun non formal. Karier dan aktifitasnya yang tergolong formal, antara lain, menjadi imam di Masjid di Kota Adana dan diangkat menjadi salah seorang guru tahfidh Al-Qur’an di kota Azmer. Sebuah kota yang memiliki basis sekuler yang paling kuat.

Adapun kariernya yang tidak resmi atau non formal, antara lain adalah aktifitasnya sebagai juru dakwah. Dia memang menyibukkan diri dalam masalah fiqih dan fatwa, sastra dan tasawuf, serta masih banyak lagi yang lain. Namun, apa yang menjadi prioritas utama dalam hidupnya adalah dakwah, dan inilah yang menjadikan dirinya menjadi sebagai manusia yang berharga di dalam hidupnya. Dakwah telah menjadi darah dagingnya dan bagian penting dalam kesibukannya. Dakwah adalah fokus perhatian dan barometer kepeduliannya, fokus ilmu dan amalnya.

Aktifitas dakwah, yang merupakan proyek utama dalam perjuangan Fathhullah ini, seperti terlihat dalam uraian yang lalu, telah dimulai sejak ia masih remaja, yang ketika itu baru berumur dua puluh tahun. Jangkauan dakwah Fathullah dari waktu ke waktu terus bertambah luas, mulai dari desanya sendiri menjadi dai’ kelililing, lingkungan sekitarnya, kemudian melebar lagi sampai ke berbagai tempat di negaranya sendiri, hingga kini dia telah banyak diundang untuk menyampaikan dakwah atau ceramah-ceramahnya oleh sejumlah negara di dunia. Disamping dikenal dengan dai yang moderat dan penyejuk jiwa, Ia juga mendirikan 400 sekolah,[2] media elektronik dan surat kabar, juga melahirkan karya-karya ilmiah baik dalam bentuk buku dan artikel, misalnya; An-Nur al-Khalid Muhammad Mafkharatu al-Insaniyah,Nabi As-Salam, al-Qadr Fi Dhaui Kitab Wa As-Sunnah, Thuruq Al-Irsyad fi Al-Fikr wa Al-hayah, al-Tilal Az-Zumrudiyah Nahwa Hayati al-Qalbi wa Al-Ruh, Wa Nahn Nuqiimu Sharha al-Ruh, Al-Mawazin Aw Adhwa’ ‘ala Al-Thariq, dan lain-lain.

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikirannya

Sangat sulit diterima apabila sikap dan pemikiran seseorang semata-mata lahir dari dirinya sendiri, tanpa ada faktor-faktor luar yang memengaruhinya. Hal ini berlaku untuk semua orang, apakah ia orang yang berpendidikan atau tidak berpendidikan sama sekali. Perbedaannya terletak pada jenis atau faktor yang memengaruhi dan kadar keterpengaruhannya saja.

Dengan demikian, ada dua faktor yang mempengaruhi pemikiran Fethullah Gullen; Pertama, orang tuanya, terutama ayahnya sebagai seorang imam dan sufi terkenal di daerahnya, menjadikan rumahnya selalu dikunjungi oleh para ulama dari berbagai daerah yang ada di Turki. Secara tidak langsung Fethullah terlibat dalam setiap dialog antara ayahnya dan para tokoh ulama tentang permasalahan yang dihadapi umat pada saat itu. Kedua, sekolah An-Nursi dimana ia mempelajari metode yang digunakan An-Nursi di dalam menyebarkan keimanan dan gerakan dakwahnya. Ia mendapati bahwa Nursi bergerak secara personal, sehingga ketika ia wafat, gerakan dakwahnya pun redup dan padam. Dari sinilah Fethullah bergerak dalam bentuk “jamaah”, maka tidak lah heran bila ia sukses dan mampu mendirikan ribuan sekolah di dunia, stasiun televise dan surat kabar. [3]

E. Metode Memahami dan Memahamkan Ajaran Rasulullah Saw.

Tak perlu lagi diragukan keberadaan Sunnah adalah keabsahan yang valid. Bahkan, posisinya cukup fundamental setelah al-Qur'an. Posisi tersebut ditunjukkan oleh fungsinya sebagai "penjelas" atau "penguat" al-Qur’an, yang secara normatif pula dipandang sebagai dasar hukum kedua dalam Islam.[4] Bagi kalangan Islam, kebenaran dan nilai historitas Sunnah sama warnanya dengan kebenaran dan nilai historitas al-Qur'an. Hanya saja, dilema Sunnah dibangun dalam pencitraan yang kaku dan rigid. Pencitraan Sunnah dengan mengikuti sejarah dan perkembangannya, yang kemudian direalisasikan entah dalam bentuk al-Kutub al-Sittah atau al-Kutub al-Tis'ah—mirip-mirip al-Qur'an dalam mushaf 'Usman—dan tidak boleh diubah-rubah, maka tanpa disadari terjadi proses pembakuan sekaligus pembekuan terhadap Sunnah. Dengan demikian, pembentukan terhadap pemikiran Sunnah, pada gilirannya, ternyata ikut menghambat pengembangan pemikiran Sunnah dan pemikiran keagamaan secara lebih luas.

Meski begitu, dan dengan memperhatikan statusnya yang tampak penting di dalam sumber hukum, maka kebanyakan umat Islam melakukan usaha-usaha pelestarian Sunnah agar tidak hilang seiring dengan meninggalnya para Shahabat Besar.[5] Termasuk juga upaya penyeleksian Sunnah antara yang benar-benar dari Rasul atau hanya sebatas hikayat biasa.

Dalam diskursus tentang jejak Nabi (sirah), tidak semua tindakan Nabi bernilai imperatif. Artinya, nilai atas ragam tindakan-tindakan beliau tergantung pada kategorisasi. Kategori yang dimaksud, ada sejumlah tindakan-tindakan Nabi yang dianggap tasyri'iyyah (sebagai legislasi hukum) dan ada pula yang dipandang dalam kategori af'al jibiliyyah (sebuah tindakan di luar legislasi hukum).[6]

Untuk kategori non-legislatif (jibiliyyah) mencakup tindakan Nabi yang berkaitan dengan pengetahuan khusus atau teknis tentang hal-hal tertentu, seperti: kesehatan, perdagangan, pertanian, dan perang. Termasuk juga dalam hal jumlah isteri-isteri Nabi. Unsur-unsur yang terdapat dalam kategori ini dan dipandang sebagai non-legislasi karena berhubungan dengan rasio sosio-kultural—yang boleh jadi perlu tapi tidak dalam segala keadaan. Sedangkan kategori tasyri'iyyah mencakup soal-soal yang berhubungan dengan peran seorang Nabi sebagai utusan Allah, kepala negara, atau hakim.[7]

Di samping itu, tindakan-tindakan legislatif Nabi dapat dirincikan menjadi lima atau enam tipe kategori hukum yang berbeda. Maksud ini adalah kebanyakan ahli hukum berpedoman bahwa segala sesuatu itu boleh kecuali ada qarinah (dalil) yang melarangnya. Atau dengan secara sederhana, apakah sesuatu yang dipandang "boleh" adalah sebuah produk yang lahir berdasarkan ketentuan hukum atau hanya sebatas sifat dasar alamiah dari sesuatu. Begitu juga seputar perbedaan antara "kewajiban" dan "perintah"; dan mana yang lebih perlu diutamakan.

Jika demikian, alangkah sulit memahami alur Sunnah Nabi sekiranya tujuan akhir adalah hukum-hukum syari'at, meski ini mutlak perlu (lantaran sebagai dasar hukum), juga bertransmisi tunggal dengan cabang ilmu fikih ketika menentukan halal dan haram. Karenanya, Hadis atau Sunnah[8] adalah suatu nilai kebenaran yang dikandung melalui pengetahuan historis. Nilai kebenaran yang dimaksud, Hadith atau Sunnah bukan saja sebagai sumber hukum, melainkan tetap dipandang sebagai sistem kepercayaan. Begitu juga dengan sisi pengetahuan, Hadith atau Sunnah tidak saja hadir mengenai urutan dan realita fakta-fakta, melainkan melalui masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kesejarahan kondisi manusia.[9]

Untuk itu, tinjauan implikasi dan konsekuensi pemikiran terhadap Sunnah dengan jalan apapun memang perlu dikedepankan, termasuk melalui "Metode Memahami dan Memahamkan Sunnah Rasullullah Saw. Menurut Fethullah Gullen". Jalan ini penulis anggap sebagai upaya ikut mengoptimalkan proses dinamisasi pemikiran keagamaan Islam menuju masyarakat yang tamaddun. Namun ironinya, dan sebagai pengikut Muhammad Saw, tampaknya kajian Sunnah masih "terserak" atau begitu "awam" di kalangan akademik. Penelitian tentang Hadith atau Sunnah secara komprehensif dipastikan sulit ditemukan, tetapi pasti tidak sesulit menemukan kajian al-Qur'an. Kajian Hadith jika ada yang berlebihan akan dicap dalam kategori "inkaru al-Sunnah", sehingga yang demikian itu ikut mempengaruhi substansi atas kajian Hadith. Namun kategori "inkar al-Qur'an" dapat dipastikan jarang terdengar, meski kajian kritisnya telah melampaui batas-batas wilayah.

Dengan demikian, "Metode Pentashihan Memahami dan Memahamkan Sunnah Rasulullah Menurut Fethullah Gullen" adalah salah satu upaya penulis dalam rangka menawarkan sikap kritis terhadap pemahaman ilmu Hadith. Tawaran ini merupakan proses pembakuan ajaran Islam yang biasa disebut dinamisasi memang harus berjalan bersama-sama, seiring dengan derap-pacu perubahan masyarakat dengan berbagai tantangannya masing-masing. Ajaran Islam bukan seperti patokan matematis yang kaku, ahistoris dan kering. Dunia spiritualitas keagamaan menghendaki sikap yang lentur tapi kenyal. Tindakan ini harus diawali dengan memperhatikan sejarah gerakan pengumpulan, pembukuan dan pembakuan Sunnah yang berjalan pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah. Dengan tingkat kepedulian seperti ini, berarti berindikasi menuju masyarakat peradaban yang cinta peninggalan sejarah Nabi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fethullah Gullen di Turki khususnya dan di dunia Islam pada umumnya.

Berangkat dari fenomena di atas, penulis akan menguraikan pengertian metode dan cara yang ditawarkan oleh Fethullah Gullen dalam memahami dan memahamkan Sunnah, sehingga Sunnah tetap terasa hidup di era global ini dan tidak tergilas oleh zaman ini, karena kekauan dan kebekuan yang dipahami oleh umat Islam.

1. Pengertian Metode

a. Secara Etimologi

Metode dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan bila dihubungkan dengan pendidikan atau pemahaman, maka metode itu harus diwujudkan dalam proses pendidikan, dalam rangka mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan baik.

Metode memahamkan atau mengajarkan dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan oleh Fethullah Gulen dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses transfer (membagi) sunnah dikalangan masyarakat Islam.

b. Secara Terminologi

Para ahli mendefinisikan metode sebagai berikut:

1. Hasan Hanggulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pemahaman atau pendidikan.

2. Ad. Al-Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pendidikan.

3. Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa metode mengajar adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan pelajaran.[10]

Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa metode adalah seperangkat cara jalan dan teknik yang digunakan oleh Fethullah dalam proses pembelajaran sunnah agar peserta didik dapat mencapai tujuan pemahaman sunnah atau menguasai kompetensi tertentu.

Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan monopragmatis.[11]

2. Metode Memahami Sunnah Menurut Fethullah Gullen

Tidak diragukan lagi, disamping seorang tokoh pembaharu di era global ini, Fethullah juga seorang ilmuan yang dapat menjelaskan Sunnah dengan sederhana dan kontekstual kepada umat. Sehingga, masyarakat merasakan adanya petunjuk Rasul walaupun kita berada di era millennium. Hal ini tidak terlepas dari metode yang digunakan dan ditawarkan oleh Fethullah kepada umat dalam memahami Sunnah Nabi Saw. yaitu;

a. Menguasai Bahasa Arab

Salah satu kunci di dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah adalah dengan mengerti tata bahasa dan sastra Arab. Karena Al-Qur’an diturunkan di dalam bahasa Arab dan Rasul Saw. pun seorang keturunan Arab. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan dakwah Fethullah Gullen disebabkan oleh ketepatannya didalam memahami makna Sunnah dan membahasakannya dengan kondisi sekarang. Misalnya, Ia memahami kata taqarub di dalam sebuah hadis yang menceritakan tentang tanda-tanda kiamat dengan arti “iqtirabu al-syaiaini min ba’dhihima” (kedekatan antara satu dengan sebahagian yang lain).

b. Memahami Sunnah Dengan Tuntunan Al-Qur’an

As-Sunnah an-Nababiyyah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya. Allah SWT telah menegaskan: “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).

Fethullah Sendiri, di dalam memahami Sunnah tidak terlepas dari tuntunan Al-Qur’an, misalnya, di dalam penjelasan tiada keseimbangan pada era sekarang tentang orang tua yang telah berumur ditempatkan oleh anak-anaknya di panti-panti jompo, sehingga mereka mendapat perlakuan yang tidak baik.[12]

c. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat

Imam Ahmad berkata, “Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya.”[13]

Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) dibawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang ‘am (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khas (maknanya khusus). Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.

Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu.

d. Mengerti Asbab wurud Hadis

Asbabul Wurud artinya sebab-sebab datangnya suatu hadits, mengetahui asbabul wurud suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan ‘illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan oleh Nabi Saw.

Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya).[14]

e. Memahami Sunnah Seperti Yang Dipahami Sahabat Rasulullah Saw.

Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan. Maka, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-atsar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.

Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: “Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah,” sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu’ (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah Saw). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah Saw.

3. Metode Memahamkan Sunnah Menurut Fethullah Gullen

Fethullah seorang ulama yang berlatarbelakang tradisional namun modern. Ia mampu mengkonstruksikan kembali teks-teks lama dan kuno menjadi modern. Maka, seyogyanyalah ia digelari “turast modern”. Ia memiliki ilmu yang luas dan budi pekerti yang luhur, baik ilmu agama, peradaban Barat, ilmu filsafat, ilmu problematika masyarakat dan peradaban dunia, sehingga ia menjadi seorang dai yang sangat berpengaruh di Turki bahkan di dunia Islam.

Karena keilmuan dan suri tauladanya, ia memiliki metode di dalam memahamkan sunnah, yaitu; Pertama, ia memfokuskan pada manusia, artinya di dalam menyebarkan ajaran Islam ia menggunakan kata-kata yang mampu dicerna oleh akal dan pikiran manusia. Sehingga nantinya manusia dapat merubah dirinya sendiri. Kedua, memadukan antara ilmu-ilmu klasik dengan ilmu modern. Ketiga, menjadikan sebab-sebab keterbelakangan umat Islam dahulu sebagai batu loncatan dalam memberi pemahaman kepada umat Islam, khususnya kaum sufi yang mengamalkan pemahaman yang keliru pada arti tawakkal. Dimana mereka mengatasnamakan tawakal tanpa berusaha sebagai tuntunan agama dan bagian dari zuhud.[15]

F. Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka penulis dapat menyimbulkan kepada beberapa hal, yaitu;

1. Fethullah Gulen seorang dai yang berpengaruh dan sukses dengan Ide monumentalnya tentang globalisasi kelembagaan yang diciptakan untuk menyebarkan fikiran dan ide-idenya di dunia Islam.

2. Dalam memahami dan memahamkan Sunnah, ia menfokuskan pada reformasi manusia dan memadukan antara teks-teks klasik dan modern. Ini dilakukan berdasarkan penelitian yang panjang tentang manusia.

3. Bahasa dakwahnya yang sederhana dan menyentuh jiwa manusia menjadikannya seorang dai yang dirindukan oleh umat setiap saat.

Fithriady; Saat ini tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Syari’ah Iain Ar-Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan program S1 di Al-Azhar Kairo pada tahun 2003 dan pasca sarjana di Omdurman Sudan tahun 2008. Aktif melakukan penelitian sosial keagamaan, terutama yang berhubungan dengan hadis, adat budaya dan syari’at Islam di Aceh. Diantara tulisan ilmiah yang dimuat di dalam jurnal adalah: Media Syari’ah, 2008 “Mafhumu al-'Uqud al-Murakkabah wa Mauqifu al-Fiqh al-Islami Minha (Dirasah al-Ahadith al-Muta'aliqah bi al-'Uqud al-Murakkabah)”, Mu’ashirah, 2010 “Ajaran Tata Kelola Pemerintahan dan Kode Etik Kepegawaian Dalam Sunan Abi Daud”, Lemlit IAIN Ar-Raniry, 2009 “Periwayatan Hadith Menurut Ibadhiyah (Studi Terhadap Kedudukan Hadith dan Metode Periwayatan)”, 2010 Melacak Keautentikan Hadith-Hadith Shamadiyah (Studi Terhadap Risalah Latifah fi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa kaifiyatu Tilawah al-Shamadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah al-Haddad), Proceedings of The Aceh Development Internasional Confrence 2011, Wakaf Menurut Perspektif Para Ulama: Suatu Kajian Literatur.

[1] Abdul Qadir Al-Idris, Muhammad Fathhullah Ghȕlan Ar-Rajulu Adh-Dhahir, di akses dari www.fgulen.com
[2] Abdul Aziz Al-‘Asali, Fethullah Jailanai Al-‘Ashr, diakses dari www. Algomhuriah.net, 2010.
[3] Ibid.
[4] Fethullah Gulen, An-Nur Khalid Muhammad Mufakharatul Insan, terj. Dar An-Nil Thiba’ah, (Misr: Dar An-Nil, 2007), hlm. 610 dan 621 – 625.
[5] Mengenai hal ini, lihat Yusuf Al-Qaradawi, [terj.,] Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Pengantar Studi Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 113-114; Lihat juga Ali Masrur, [ed.,] Fuad Mustafid, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 107-110; Lihat juga Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘ā·sir, 1997), hlm. 36-72. Dan lihat juga Fethullah Gulen, An-Nur…, hlm. 611 -614.
[6] Kedua istilah ini dikutip dari tulisan Khaled M. Abou El Fadl, [terj.,] Kurniawan Abdullah, Melawan Tentara Tuhan: yang Berwenang dan yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 65. Bahkan untuk kategori istilah af'al jibiliyyah juga dipahami sama dengan istilah ghairu tasyri'iyyah. Lihat juga Fethullah Gulen, An-Nur…, hlm. 611 -614.
[7] Lihat Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Malaysia: Ilmiah Publishers, 2000), hlm. 50-57; Khaled M. Abou El Fadl, [terj.,] Kurniawan Abdullah, Melawan Tentara…, hlm. 65.
[8] Kedua istilah ini sejauh mungkin tidak dibedakan dalam tulisan ini. Dan kedua makna ini tetap disandarkan kepada Nabi dan bukan kepada yang lain. Bahkan, Yusuf Al- Qardhawi menyebutkan Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fikih untuk merumuskan hukum. Lihat Yusuf Al-Qardhawi, [terj.,] Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Pengantar…, hlm. 134. Lihat Juga Fethullah Gulen, An-Nur…, hlm. 616.
[9] Mengenai hal ini, tampaknya penulis hendak mengilustrasikan Hadith yang berhubungan dengan perintah menziarahi kubur bagi kalangan perempuan—yang sebelumnya Nabi melarang tindakan tersebut, dengan Hadith yang berhubungan dengan perubahan 'aqilah—ganti rugi (diyat) dalam kasus pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja pada masa umar. Lihat Yusuf Al-Qardhawi, [terj.,] Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Pengantar…, hlm. 213.
[10] Ahmad Tafsir, Metodogi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Cet 3. 1996), hlm. 9.
[11] Rahmayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Kalam Ukhti ,Cet. V, 2006), hlm. 10.
[12] Fethullah Gullen, An-Nur…, hlm. 104.
[13] Khatib Al-Baghdadi, Al-Jami’ Li Akhlak Ar-Rawi Wa Adabu As-Sami', Jilid 1, hlm. 270.
[14] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyah, hlm. 125.
[15] Abdul Aziz Al-‘Asali, 2010.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.