Allah Menciptakan Alam Semesta agar Diri-Nya Dikenal

 

Kita mengenal dan Allah subhanahu wa ta’ala melalui makhluk-makhluk yang Dia ciptakan. Namun, perlu kita sadari bahwa apa yang kita lihat sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang tidak terlihat. Bahkan, yang tampak di hadapan kita mungkin tidak sampai satu per sejuta dari seluruh ciptaan-Nya. Karena itu, janganlah terlalu membesar-besarkan dunia ini. Jangan menganggapnya segalanya. Memang benar, ada galaksi-galaksi dengan usia puluhan triliun tahun. Lalu, dari bintang-bintang berukuran raksasa, ada yang kehabisan energi, ada yang mengalami perubahan dari hidrogen menjadi helium, dan proses itu masih terus berlangsung hingga kini. Sebagian bintang yang padam cahayanya kemudian runtuh menjadi semacam puing kosmik, dan menurut sebagian ahli, berubah menjadi lubang hitam yang diperkirakan menjadi gerbang menuju alam lain. Semua pernyataan itu benar dan itulah yang kita sebut sebagai perubahan, peralihan, atau transformasi. Namun semua itu, termasuk galaksi-galaksi yang usianya bukan sekadar triliun, bahkan triliun kali triliun tahun, di hadapan kekekalan yang azali dan abadi ibarat nol belaka. Maka dapat dipahami bahwa Allah Yang Mahasuci telah berkehendak menampakkan diri-Nya melalui suatu cara dalam suatu rentang waktu yang sebenarnya bernilai nol belaka. Untuk itu, Dia menciptakan alam semesta dan manusia agar mereka dapat merenungi ciptaan-Nya.”[1]

 

Kalau kita pikir, semua ini merupakan proyek maha besar. Namun, yang paling penting dari proyek ini adalah bahwa Allah menciptakan manusia sebagai buah dari pohon kreasi-Nya. "Hikmah sejati dari keberadaan alam semesta adalah kedatangan manusia sebagai makhluk mulia ke alam dunia." Pada akhirnya, baik alam semesta yang begitu agung maupun manusia yang menjadi miniatur dan daftar isinya sebenarnya nilainya pun tidak lebih dari nol di hadapan keabadian oleh karena sifatnya yang fana.

 

Ya, kita hanya mampu mengetahui sebagian kecil dari alam fisik. Itu pun banyak hal yang masih belum bisa kita pahami meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang. Lubang hitam misalnya, atau apa yang disebut lubang putih[2], belum sepenuhnya kita mengerti. Mungkin di masa depan para astrofisikawan akan mengungkap lebih banyak, tetapi sangat mungkin juga usia alam semesta tidak akan cukup untuk menyingkap semua rahasianya. Manusia akan terus mencari, tetapi akhirnya meninggal dunia dan rasa ingin tahu itu akan tertinggal begitu saja. Pada akhirnya, semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan Kekuasaan, Kekuatan, dan Ilmu Allah yang tidak terbatas. Kalau kita menyebut "sebutir atom" atau "partikel" untuk menggambarkan betapa kecilnya semua itu dibanding kebesaran Allah, sebenarnya kita masih memberi tempat terlalu besar bagi alam semesta ini. Hanya saja, karena kita tidak punya istilah untuk menyebut sesuatu yang lebih kecil maka kita menyebutnya atom atau partikel. 

 

Selain itu, ciptaan Allah bukan hanya alam fisik. Ada juga alam rohani di mana para malaikat tinggal di sana. Kita tidak tahu pasti jumlah, hakikat, atau tugas mereka. Bahkan kita tidak tahu berapa panjang usia Malaikat Jibril. Mungkin usianya melampaui usia seluruh alam semesta. Dialah makhluk yang "naik ke singgasana lahut, berjumpa dengan Allah, dan disambut dengan salam." Semua itu sungguh melampaui nalar kita. Maka, dapat kita pahami bahwa Allah senantiasa memperlihatkan Diri-Nya melalui perubahan dan transformasi makhluk-makhluk-Nya yang senantiasa berputar dalam roda waktu. Dia menciptakan, lalu Dia pula yang menyaksikan.[3]

 

Bagaimana mungkin manusia disebut sebagai “makhluk mulia” padahal ia hidup di antara dua kemungkinan: bisa jatuh ke derajat yang paling rendah (asfala safilin) atau bisa naik setinggi-tingginya derajat kemanusiaan (‘alaya illiyyin)?

Manusia adalah makhluk yang penuh dengan kontradiksi. Satu sisinya menghadap kepada Allah, sementara sisi lainnya menjadi arah yang selalu digoda oleh setan. Ia dituntut untuk mampu melampaui godaan itu agar bisa sampai kepada Allah. Jika tidak bisa melampauinya, maka ia tak akan sampai kepada-Nya. Dan ketika tidak sampai kepada Allah, ia pun terjerumus dalam perangkap setan. Jadi, hidup manusia memang selalu berhadapan dengan pilihan: apakah mampu melampaui dan sampai, atau justru terjerat lalu jatuh, semoga Allah menjaga kita dari ketergelinciran dan memuliakan kita dengan pencapaian untuk sampai kepada-Nya. Karena itulah, baik dilihat dari hakikat kemanusiaannya maupun dari kemuliaan orang-orang yang berhasil sampai kepada Allah maka manusia layak disebut sebagai makhluk yang mulia.

 

Ada banyak sebab yang bisa menyeret manusia jatuh ke dalam dekapan setan, makhluk yang menjerumuskannya ke dalam kekufuran, kesesatan, dan kemunafikan. Antara lain sifat sombong, angkuh, dan ujub (merasa diri lebih hebat). Semua itu menjadi penghalang bagi iman. Begitu juga penyimpangan seperti salah dalam keyakinan, salah dalam melihat, salah dalam menilai, dan salah dalam memahami. Lalu ada pula sikap melampaui batas seperti menzalimi orang lain atau sikap tidak tahu diri di mana semuanya membuat hati menjadi sempit. Padahal dalam mekanisme kalbu manusia seperti dijelaskan oleh para ulama terdapat fuad (dimensi batin hati yang bisa merasakan kebenaran) dan latifah rabbaniyah (unsur halus dalam jiwa manusia yang menjadi tempat bagi cahaya ilahi memancar). Selain itu, ada juga pikiran dan perasaan. Akan tetapi, bila sifat-sifat negatif mendominasi, hati menjadi sempit, lalu mekanisme nafsu mengambil alih peran nurani. Akibatnya, hubungan-hubungan yang seharusnya memberi manusia kedalaman spiritual pun terputus.

 

Orang-orang yang seperti ini akan sangat sulit beriman. Kalaupun beriman, mereka seperti pohon bonsai yang tidak bisa tumbuh tinggi. Seberapa pun didorong untuk taat, segiat apapun dididik dalam agama, selama masih dikuasai kesombongan, ketidakadilan, sikap zalim, serta tidak mengetahui batasan diri, keimanan mereka akan tetap rapuh.

 

Di antara semua penghalang iman, kezaliman punya kedudukan khusus. Al-Qur’an menyebut syirik (menyekutukan Allah) sebagai bentuk kezaliman yang paling besar. Karena hakikatnya syirik adalah klaim tersembunyi dari keinginan untuk merebut peran ketuhanan. Ketika Rasulullah membaca ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman...” (QS. al-An‘ām [6]:82), para sahabat merasa khawatir dan bertanya, “Siapakah di antara kita yang tidak pernah menzalimi dirinya?” Rasulullah lalu menjelaskan maksudnya dengan mengingatkan pada nasihat Sayidina Lukman kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Lukman [31]:13).[4]

 

Selain itu, ada pula sikap taklid buta, yakni menerima dan mengikuti begitu saja tradisi nenek moyang tanpa memverifikasinya. Bila yang diwarisi adalah keburukan, maka ia akan menjerumuskan dirinya ke dalam kesesatan. Bila sifat-sifat negatif ini bercokol pada diri seseorang, maka nafsu akan menggunakannya seperti sebuah alat untuk menipu atau memperdaya. Dalam keadaan demikian, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ketika mekanisme nurani kalah maka mekanisme nafsu akan mengambil alih. Diri manusia menjadi miliknya sehingga setan pun berkuasa di atas orang yang nuraninya telah tertutup serta tak mampu membuka diri terhadap cakrawala yang mendalam. 

 

Sesungguhnya, mekanisme yang sama telah membuat setan sendiri binasa. Ia melampaui batas di hadapan Allah, berlaku angkuh, dan gagal mengatur sudut horizonnya. Ia berkata: “Aku lebih baik dari Adam. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia dari tanah. Api tidak pantas tunduk pada tanah.” Dengan kesombongan itu, ia pun jatuh dan terhempas selamanya.

 

Senjata Paling Mematikan Setan: Syahwat

Syahwat adalah senjata dan jebakan yang paling sering dipakai setan. Jalaluddin Rumi dalam salah satu rubaiyatnya yang disampaikan secara spontan saat sema’ dan dicatat oleh Zerkub atau Husamettin Celebi, menggambarkan sebuah dialog yang terjadi di antara Allah dan setan. Setan berkata kepada Allah: “Demi kemuliaan-Mu ya Allah, aku bersumpah akan menyesatkan semua manusia. Namun, jika mereka mempunyai modal persiapan, maka aku juga harus Engkau beri bekal.” Allah menjawab: “Ambil sebanyak mungkin harta, gunakanlah harta itu.” Setan tidak puas, wajahnya masam. “Ambil umur sepanjang yang kau mau.” Lagi-lagi ia kecewa. “Ambil kekuatan dan tenaga sebanyak yang kau mau.” Ia masih tidak puas. Baru ketika Allah menyebut kata “syahwat”, Rumi menggambarkan, setan pun menari kegirangan.

 

Syahwat memang kartu truf terbesar setan. Coba tunjukkan, sepanjang sejarah ada berapa banyak manusia yang benar-benar tahan ujian syahwat? Siapa yang hatinya tidak pernah tergelincir, matanya tidak pernah disusupi bayangan asing, telinganya tidak pernah mendengar bisikan yang haram, kakinya tidak pernah melangkah dan tangannya tidak pernah menyentuh ke arah itu? Hampir tak ada. Karena syahwat adalah ujian paling berat. Rasulullah bersabda: “Aku tidak meninggalkan fitnah (ujian) yang lebih besar bagi umatku daripada fitnah syahwat.”[5] Maka dari itu, doa yang kita baca setiap pagi dan petang pada dasarnya berisi permohonan perlindungan agar tidak diuji dengan fitnah ini. Ujian ini pun tidak hanya berlaku bagi laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga sebaliknya, yaitu perempuan terhadap laki-laki.

 

Untuk itu, manusia harus menjauhi perangkap setan dan jangan sampai terjerat jaringnya. Jaring setan seperti sarang laba-laba: sekalinya si korban masuk, semakin ia memberontak maka semakin terikat; makin lemah, makin binasa. Setan mengintai di pinggir jaring, menunggu mangsanya tidak berdaya. Karenanya, manusia jangan sampai menyempitkan potensi agung yang Allah berikan di mana sejatinya ia lebih luas dari ruang dan waktu hanya demi pandangan sesaat, seteguk nafsu, atau sejumput makanan. Ingatlah, seekor burung bisa terjebak di kandang hanya karena sebutir biji. Nizami,[6] seorang penyair besar, bahkan menafsirkan bahwa buah terlarang yang dimakan Nabi Adam adalah sebutir gandum; setelah memakannya, wajah beliau menjadi pucat seperti warna gandum.

 

Jadi, inti pembahasan ini adalah jangan sampai terjebak ke dalam jejaring setan. Al-Qur’an menegaskan: “(Setan) memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong mereka. Padahal, setan tidak menjanjikan kepada mereka, kecuali tipuan belaka.” (QS. an-Nisa [4]:120). Dan janji-janji itu tidak pernah ditepati. Dalam ayat lain setan bahkan mengakui sendiri: “...aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku mengingkarinya (tidak menepatinya…)” (QS. Ibrahim [14]:22). Maka dari itu, jangan sampai kita tertipu oleh janji-janji palsu setan.

 

Anugerah Allah bagi Mereka yang Menjaga Keluasan Nurani

Penyair sufi Nesimi[7] menggambarkan perkara ini dengan indah:

 

"Datanglah, wahai pecinta, sebab engkau adalah seorang yang dipercaya.

Ini adalah makam kerahasiaan,

Kami melihatmu sebagai ahli wafa, insan setia.”

 

Tempatku kini tiada berbatas ruang,

Jasmani ini seluruhnya telah menjadi ruh.

Pandanganku tersingkap oleh pandangan Allah,

Di kedalaman diri kulihat diriku mabuk oleh perjumpaan.

 

Dan akhirnya ia berkata:

“Aku yang terus-menerus diliputi mabuk rohani,

Di cawan itu, kulihat Mustafâ (Rasulullah) sebagai minuman ilahi."

 

Artinya, minuman rohani disuguhkan sedemikian rupa sehingga terdapat Muhammad Mustafa di dalamnya. Semua itu merupakan anugerah dari Allah bagi nurani yang lapang. Allah menganugerahkan semua itu lengkap dengan zirahnya kepada orang-orang yang memang pantas. Zirah itu adalah “ubûdiyyah-i kâmilah-i tâmmah-i dâimah” (penghambaan yang sempurna, menyeluruh, dan terus-menerus).

 

Sebagai kesimpulan, mari kita renungkan pernyataan berikut ini: jika manusia menjaga nurani dan memperluasnya, ia akan bisa terbang ke langit makna, menjelajahi alam Nama dan Sifat Allah, bahkan akan disambut salam dari Allah dan malaikat. Bukankah itu jauh lebih mulia daripada terperangkap dalam kubangan sempit nafsu yang setan tawarkan? Allah telah memuliakan manusia sebagai khalifah di bumi. Sangatlah tidak pantas jika manusia justru merendahkan dirinya dengan perilaku yang hina.

 

Maka dari itu, marilah kita jaga kelapangan itu. Jangan beri setan kesempatan untuk mengatur langkah kita. Dalam kaidah fikih ada prinsip sadd al-dzarî‘ah, yaitu menutup pintu keburukan sejak langkah pertama. Mari menjauhi segala potensi yang bisa menyeret pada fitnah syahwat. Kalau mata melihat sesuatu yang haram, segera palingkan. Jangan biarkan bayangan itu mengotori jiwa. Bahkan, lebih baik jangan berada di tempat-tempat yang rawan mengantarkan diri kepada dosa. Singkatnya, tentukan posisi kita dengan jelas karena kita  telah ditempatkan Allah di makam khalifah. Maka bersikaplah sesuai dengan kemuliaan makam itu.

 

 

 

[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi-1/allah-kainati-bilinmek-icin-yaratmistir 

 

[2] Lubang putih adalah konsep teoretis, ia belum terbukti ada. Ia bisa disebut "kebalikan" dari lubang hitam. Kalau lubang hitam menyedot semua benda dan cahaya, lubang putih justru hanya bisa memuntahkan materi dan energi, tapi tidak bisa dimasuki apa pun. Dalam teori relativitas umum Einstein, lubang putih muncul sebagai solusi matematis, tapi belum ada bukti nyata di alam semesta. Ada ilmuwan yang menduga lubang putih mungkin berhubungan dengan lubang hitam, bahkan ada hipotesis bahwa lubang hitam bisa menjadi "jalan keluar" menuju lubang putih di alam semesta lain.

 

[3] Maksudnya, Allah menciptakan alam yang selalu berubah, berganti, dan bertransformasi. Dalam semua proses itu, Allah menghadirkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Namun, bagaimana cara Allah “menyaksikan” atau “memperlihatkan diri-Nya” dalam perubahan itu, kita tidak akan pernah bisa mengetahuinya dengan pasti.

  

[4] “Lihat: Bukhari, Al-Anbiya’ 8, 41; Tafsir Surah (31) 1; Istitabah 1, 8; Muslim, Iman 197.”

 

[5] Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ  “Tidak ada sebuah fitnah sepeninggalku, yang lebih besar mudharatnya bagi kaum lelaki daripada (fitnah) wanita.” (HR. Bukhari no. 5096; Muslim no. 2741; Ibnu Majah no. 3998, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no 13522, Ibnu Hibban dalam shahihnya no. 5967, 5969, 5970; HR Ahmad (36/75), (36/151). Lafaz hadits milik Muslim.

 

 

 

[6] Nizami Ganjavi (1141–1209) adalah salah satu penyair terbesar dalam tradisi Persia klasik. Ia lahir di kota Ganja (sekarang wilayah Azerbaijan) dan dikenal sebagai penyair epik-romantis yang sangat berpengaruh. Karya terkenalnya adalah Khamsa (Lima Hikayat), kumpulan lima puisi panjang berbentuk masnawi yang menggabungkan kisah cinta, hikmah, etika, sejarah, dan filsafat. Di antara kisahnya yang paling populer adalah Layla dan Majnun, yang kemudian menginspirasi banyak karya sastra, musik, hingga teater di dunia Islam maupun Barat. Nizami dipuji karena bahasanya yang indah, kedalaman moral, serta kemampuannya memadukan imajinasi puitis dengan ajaran etis dan spiritual.

 

 

[7] Nesîmî (1369–1417) adalah salah satu penyair sufi besar berbahasa Turki (Oghuz/Azerbaijan) pada abad ke-14–15. Nama lengkapnya Seyyid İmadeddin Nesîmî. Ia dikenal sebagai tokoh penting dalam tradisi Hurûfî, sebuah aliran mistik Islam yang menekankan makna tersembunyi pada huruf-huruf Al-Qur’an. Puisinya banyak menggunakan simbol alam, tubuh manusia, dan huruf untuk menjelaskan kedekatan manusia dengan Tuhan. Karya utamanya adalah Dîvân (kumpulan syair) dalam bahasa Turki dan Persia. Syair-syairnya sangat berpengaruh dalam perkembangan sastra Azeri dan Ottoman, bahkan memberi inspirasi bagi penyair-penyair besar sesudahnya, termasuk Fuzûlî.

 

 

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2025 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.