
Sedekah dan Kebajikan di Masa Jahiliah
Pertanyaan:
Ketika seorang sahabat bertanya tentang ganjaran sedekah dan kebajikan yang mereka kerjakan di masa jahiliah, Nabi menjawab: "Menurutmu, dengan apa kamu menjadi muslim?". Berdasarkan pernyataan ini, apakah ibadah-ibadah materi dan maknawi yang telah kita kerjakan hingga hari ini dapat menjadi sumber harapan keselamatan dari potensi jatuhnya kita ke dalam kemungkinan bahaya?[1]
Jawaban:
Apakah di masa jahiliah terdapat istilah zakat dan sedekah saya kurang tahu, tetapi dua tema yang banyak dibahas dalam syair-syair jahiliah adalah kedermawanan dan keberanian. Kedermawanan adalah membelanjakan hartanya di jalan yang tepat. Adapun kepahlawanan, adalah sikap tidak gentar dan memandang remeh segala sesuatu termasuk kehidupannya dengan cara yang tepat. Kemudian dua dinamika penting ini juga dipraktikkan oleh Islam. Salah satunya, Islam membentuk jamaah munfikin (orang-orang yang berinfak). Al-Qur'an bahkan membahas mereka di surah Al-Baqarah: "...dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka." Adapun yang kedua, Islam membentuk jamaah mujahidin (orang-orang yang rela mengorbankan nyawanya untuk keagungan agamanya).
Jika orang-orang jahiliyah tersebut mengerjakan segala sesuatu di jalan kebaikan demi meraih keridaan Allah semata, maka hal itu bisa saja menjadi sebab adanya sebuah harapan bagi mereka. Karena kebaikan apapun yang dilakukan akan senantiasa menjadi sebuah kebaikan. Hal inilah yang juga ditunjukkan oleh Nabi. Misalnya, Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam saat Perang Fijar,[2] Beliau barangkali tidak terlibat secara langsung dalam peperangan tersebut. Akan tetapi, dalam rangka menjaga Ka’bah dan membantu paman-pamannya, Beliau mengambil peranan dengan membawakan anak panah serta menyiapkan tombak.[3]
Pada tahun yang sama ketika kehormatan Ka‘bah kembali ternodai karena sebab lain, diadakanlah sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Hilful-Fudul. Nabi kita pun ikut serta dalam perjanjian itu dengan niat untuk membela kebenaran. Setelah beliau diangkat menjadi Nabi, beliau mengenang perjanjian tersebut dengan penuh penghargaan. Beliau bersabda bahwa seandainya beliau diajak kembali kepada perjanjian seperti itu, maka beliau akan menyambutnya.[4] Begitu pula ketika Ka‘bah sedang diperbaiki, beliau turut mengangkat batu-batu dengan niat mencari pahala dan membantu orang-orang di sekitarnya. Dan sebagaimana peristiwa-peristiwa sebelumnya, pengalaman itu juga kelak dikenang oleh beliau sebagai sebuah amal kebajikan.
Dari sisi ini, baik di masa jahiliah ataupun di masa Islam, di awal hingga akhir segala kebajikan bagi umat manusia tetaplah merupakan sebuah kebaikan. Dengan adanya keterkaitan antara kebajikan dan kebaikan, maka di satu sisi, segala kebaikan yang dikerjakan seorang manusia akan mengarahkannya kepada keindahan dan kebaikan lainnya. Di sisi yang lain, kebaikan itu juga akan mencegahnya dari beragam keburukan yang mungkin menimpanya. Persis seperti apa yang dijelaskan oleh Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang menceritakan tentang tiga orang yang terjebak di dalam sebuah gua.[5] Mereka berdoa kepada Allah dengan cara bertawasul dengan kebajikan-kebajikan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Mereka pun meminta kepada Allah agar diberi keselamatan dari musibah yang sedang menimpa mereka, yaitu agar bisa keluar dari dalam gua yang tertutup batu besar itu. Pada dasarnya, segala pengorbanan dan kebajikan yang dilakukan oleh tiga orang itu adalah perkara-perkara yang amat sulit dilakukan oleh manusia yang memiliki hawa nafsu. Akan tetapi, tiba suatu hari di mana justru amalan-amalan mulia itulah yang menjadi sarana bagi bergesernya batu yang menutup mulut gua sehingga mereka pun selamat. Sebagaimana kebajikan-kebajikan yang mereka lakukan menjadi wasilah bagi bergesernya batu raksasa yang mengancam kehidupan duniawi, kebajikan-kebajikan itu juga dapat mengeliminasi bebatuan maksiat yang menghalangi jalan manusia menuju surga. Ya, kebajikan tersebut juga dapat menjelma sebagai jembatan yang menyelamatkan manusia dari jurang neraka; atau terkadang menjadi pesawat ulang-alik yang mengantarkan manusia untuk mengorbit di surga; atau mungkin menjadi roket yang melejit seperti kilat.
Tentu saja kebajikan ini tidak terbatas dilakukan kepada sesama muslim saja. Kebajikan kepada umat lain pun juga akan mendapat ganjaran serupa. Namun, karena ibadah zakat hukumnya fardu ain, maka ia memiliki kriteria dan hukum-hukum tertentu yang membuatnya tidak bisa diberikan dengan leluasa. Akan tetapi, tidak ada kendala untuk bersedekah serta memberi makan dan minum kepada orang-orang yang papa. Lebih dari itu, merawat hewan dan tumbuhan pun juga merupakan sebuah kebaikan dan mendapat ganjaran pahala di sisi Allah. Bahkan dari beberapa hadis dapat disimpulkan bahwa menjaga keseimbangan ekosistem serta menyerahkannya kepada generasi setelahnya dalam kondisi terbaik merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim.
Demikianlah, semua itu merupakan kumpulan kebajikan yang akan ditulis dalam buku catatan kebaikan manusia. Di masa yang akan datang, kebajikan ini akan mencegah manusia dari ketergelinciran, memotong akar-akar keburukan, memupuk kebaikan, mengembangkannya, dan akan menjadi sarana yang mempermudah keselamatannya.
Dengan kerangka itu, apabila segala kebajikan yang dikerjakan orang-orang jahiliyah yang belum mengenal Tuhannya tidak akan tersia-siakan begitu saja dan malah memberikan hasil serta menjadi sarana yang mengantarkan mereka untuk memeluk agama Islam sebagaimana yang Nabi sabdakan, bayangkan jika yang melakukan kebaikan itu adalah orang-orang mukmin! Bagi seorang mukmin, mengerjakan satu kebajikan bisa menjadi sebab bagi lahirnya ribuan bahkan jutaan kebajikan lainnya serta dapat mencegahnya dari beragam keburukan. Jika dikatakan, "Namun meskipun telah mengerjakan beragam kebajikan-kebajikan itu kita tidak sepenuhnya terlindungi? Malah terkadang kita masih saja terpeleset dan terjatuh?" Ya, hal ini serupa dengan keadaan yang terjadi di bulan Ramadan. Dalam sebuah riwayat yang sahih disebutkan bahwa pada bulan Ramadan setan-setan yang paling ingkar dibelenggu dan dipenjara. Namun,[6]ternyata kita masih saja menyaksikan terjadinya berbagai kemaksiatan di bulan mulia itu. Di tempat yang sangat suci seperti Ka’bah yang menjadi pusat ibadah thawaf serta manusia menaruh pandangan penuh hormat kepadanya dan bertawaf sebagai bentuk penghambaan kepada Allah saja, ternyata masih ada orang-orang yang tega menyakiti sesama. Padahal Allah subhânahu wa ta‘âlâ dengan jelas melarang berbuat aniaya, tetapi di sana tetap ada orang yang menendang sesama sehingga ribuan jamaah terinjak-injak. Artinya, mereka yang berbuat zalim itu sesungguhnya tidak sedang sibuk dengan urusan orang-orang yang berjalan lurus kepada Allah, tetapi justru sibuk mengganggu orang-orang beriman yang tetap berpegang teguh pada agama dan berusaha melayani iman dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Dari sudut pandang ini dapat dikatakan: seandainya pada bulan Ramadhan setan-setan tidak dibelenggu, niscaya manusia tidak akan pernah terbebas dari berbagai keburukan. Andaikata orang-orang beriman dapat melangkah dengan selamat di jalan menuju surga tanpa banyak rintangan, itu semua terjadi karena amal kebajikan dan kebaikan yang mereka lakukan berfungsi layaknya perisai. Berkat itu pula, musuh-musuh mereka tidak bisa sepenuhnya menampakkan kebengisan dan kejahatannya.
Maka dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang yang tetap berpegang teguh demi bisa melayani agama Islam dalam kondisi berat sesungguhnya tengah berada dalam perlindungan langsung dari Allah Yang Mahaperkasa. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan telah bertransformasi menjadi semacam penangkal bala atau paratonnoire (penangkal petir) yang menyelamatkan mereka dari berbagai musibah.
[1] Diterjemahkan dari buku kendi iklimimiz eserleri pada artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kendi-iklimimiz/cahiliye-donemi-sadaka-ve-iyilikleri
[2] Perang Fijar adalah serangkaian peperangan antara Quraisy (bersama Kinanah) melawan Qais ‘Ailan (Hawazin). Disebut Fijar (artinya “dosa/kezaliman”) karena peperangan ini terjadi pada bulan-bulan suci (asyhurul hurum) yang seharusnya dihormati dan bebas dari pertumpahan darah. Perang ini berlangsung beberapa kali dalam kurun waktu tertentu, tetapi yang paling terkenal adalah Fijar al-A‘zham (Fijar besar). Saat perang Fijar besar terjadi, usia Nabi Muhammad SAW sekitar 14–15 tahun. Beliau tidak ikut berperang langsung, tetapi membantu para paman Quraisy dengan menyiapkan anak panah untuk mereka.
[3] Ibnu Hisyam, as-Sîrah an-Nabawiyyah (jilid 1, hlm. 326); ath-Tabarî, Tahdzîb al-Âtsâr (jilid 1, hlm. 22).
[4] Hilf al-Fudhul adalah sebuah perjanjian atau pakta moral yang dibuat di Makkah sebelum masa kenabian Muhammad SAW (sekitar usia beliau 20 tahun). Perjanjian ini disepakati oleh beberapa kabilah Quraisy untuk menegakkan keadilan, membela hak orang yang tertindas, dan melindungi mereka yang lemah dari penindasan, baik dari kalangan penduduk Makkah maupun pendatang. Dalam Musnad Ahmad dituliskan dari `Abd al-Rahman bin ‘Auf RA, Nabi bersabda: "Sungguh aku telah menghadiri di rumah Abdullah bin Jud'an sebuah perjanjian (Hilf al-Fudhul) yang lebih aku sukai daripada memiliki unta merah (harta paling berharga saat itu). Seandainya aku diajak kepada perjanjian semacam itu di masa Islam ini, niscaya aku akan memenuhinya." Ahmad bin Hanbal, al-Musnad (jilid 1, hlm. 190, 193); al-Bazzar, al-Musnad (jilid 3, hlm. 235); Ibnu Sa‘d, al-Ṭabaqāt al-Kubrā (jilid 1, hlm. 129).
[5] HR Bukhari Kitab al-Buyu‘ (Jual Beli) hadis no. 98; Kitab al-Hars (Pertanian) hadis no. 13; Kitab al-Ijârah (Sewa-Menyewa) hadis no. 12; Kitab al-Anbiyâ’ (Para Nabi) hadis no. 53; Kitab al-Adab (Adab) hadis no. 5.; Muslim, Kitab al-Dzikr (Dzikir) hadis no. 100.
[6] HR Bukhari, Kitab al-Shiyâm (Puasa) hadis no. 62; Muslim, Kitab al-Shiyâm (Puasa) hadis no. 1.
- Dibuat oleh